Sukses

Ironi Kehidupan Para Bangsawan di Tengah Modernitas Singapura

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa orang yang tampak biasa-biasa saja dan bekerja di kantor atau jadi sopir taksi memang bisa saja mengaku sebagai bangsawan Singapura, keturunan raja abad ke-19 yang menyerahkan kendali pada Inggris.

Tapi, hanya sedikit penduduk di salah satu kota paling kosmopolitan di dunia yang menyadari silsilah ini, hal menyakitkan bagi Tengku atau Pangeran, Shawal, yang diakui beberapa anggota keluarganya sebagai kepala 'rumah' Singapura.

"Mereka (bangsawan Singapura) masih ada?" adalah tanggapan yang sering diterima pria 51 tahun itu, seperti dilansir laman South China Morning Post, Rabu, 28 Oktober 2020. Tanggapan itu sering dilayangkan saat memberi tahu ia adalah salah satu keturunan Sultan Hussein Shah.

Nyatanya, Shawal adalah salah satu dari beberapa orang Singapura yang menyandang nama kehormatan Tengku, pangeran atau putri dalam bahasa Melayu. Juga, mengklaim memiliki hubungan dengan Sultan.

Hingga pergantian abad ini, sebagian dari bangsawan Singapura masih tinggal di rumah leluhur mereka, istana yang padat dan bobrok. Kehidupan itu berlangsung sebelum digusur pemerintah yang menjadikan kediaman mereka sebagai museum.

79 keturunan, 14 di antaranya tinggal di istana, ditawari pembayaran sebagai bagian dari kesepakatan era kolonial untuk menafkahi keluarga sultan, kata pemerintah saat itu. Banyak dari bangsawan Singapura yang tinggal di luar negeri, katanya.

Nama penerima manfaat yang sah tak dipublikasikan sehingga sulit memverifikasi klaim kerajaan. Pemerintah Singapura mengatakan, semua kecuali satu pembayaran telah dilakukan, tapi tak dapat memberi rincian lebih lanjut tentang penerima manfaat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengakuan Lebih Luas

Shawal, sembari menunjukkan korespondensi pemerintah yang mengidentifikasinya sebagai penerima, masih secara teratur mengunjungi istana yang berubah jadi museum dan masjid. Pemakaman di daerah kantong warisan Melayu yang disebut Kampong Glam pun masuk dalam daftar tujuannya.

Meski menghadapi masalah pribadi dengan pemotongan pendapatan dan pekerjaan logistik yang berisiko akibat pandemi, Shawal mengatakan, ia mencurahkan waktu untuk menjaga warisan Sultan tetap hidup. Hal itu dilakukan dengan mengenakan kostum kerajaan tradisional dan menghadiri acara perayaan.

Namun, mendapat pengakuan lebih luas merupakan tantangan, bahkan di antara kelompok penggugat yang berbeda dan agak terpecah. Keturunan lain memperingatkan tentang bahaya hidup di masa lalu atau terlalu disibukkan dengan kesulitan saat ini.

"Kami bukan dinasti. Tidak penting apakah Anda keturunan keluarga kerajaan atau bukan," kata Tengku Indra, konsultan 67 tahun yang tinggal di istana saat kecil. "Yang terpenting adalah Anda harus hidup melalui meritokrasi, alih-alih menikmati status yang dianggap berasal dari posisi leluhur."

Indra digambarkan sebagai cicit-buyut dari Sultan Hussein dalam sebuah artikel oleh Friends of the Museums Singapore yang berafiliasi dengan pemerintah, tahun lalu. Putra Indra, pengusaha berusia 40 tahun, Tengku Azan, memiliki seorang putri berusia dua tahun yang akan jadi salah satu keturunan termuda.

Menurutnya, generasi mendatang tak akan terlalu tertarik pada sejarah Sultan. "Masa lalu secara tidak sengaja mengambil tempat duduk di belakang dan tetap tidak diperhatikan," katanya.

3 dari 3 halaman

Terhantam Realitas

Bagi mantan penghuni istana lain, kehidupan di dunia luar merupakan realitas kurang menyenangkan. Tengku Faizal, 43, mengatakan, setelah meninggalkan istana pada 1999, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah kondominium dan akan diejek karena jadi pangeran yang menangani sampah.

Ia sekarang jadi sopir taksi, berjuang memenuhi kebutuhan dan telah diberi bantuan keuangan untuk menutupi biaya pengasuhan putrinya. Untuk membantu, istrinya bekerja paruh waktu di gerai McDonald's. "Kami tidak pintar, kami tidak kaya," kata Faizal, berbicara dalam bahasa Inggris. "Kami hanya mendapat gelar."

Sementara, di negara tetangga Malaysia, monarki konstitusional di mana Sultan masih memainkan peran aktif dalam kehidupan publik, nama kehormatan jauh lebih umum. Dari tujuh penggugat Singapura yang diwawancarai, Shawal adalah yang paling bersemangat merayakan warisan leluhurnya.

Tapi, bahkan ia sendiri ragu meneruskan 'beban' gelar kerajaan dan tak memberikannya pada sang putri saat lahir.

Sekarang berusia 27 tahun dan bekerja untuk sebuah perusahaan bioteknologi, Puteri telah mendapat kembali nama Tengkunya. Tapi, ia juga merasa bahwa menjelaskan kredensial merupakan tugas berat di negara yang sebagian besar telah melupakan bagian sejarah ini.

"Beberapa bagian dari diri saya merasa sedih karena saya perlu menjelaskan siapa saya. Tapi, saat mereka melihat Pangeran Harry, mereka tahu dialah pangeran," ucapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.