Sukses

Disebut Gunakan Metode Usang, Ini Alasan Muhammadiyah Gunakan Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal

Ada tujuh alasan mengapa Muhammadiyah tetap menggunakan Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal dalam penentuan awal Bulan Hijriah.

Liputan6.com, Jakarta - Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia telah menetapkan awal puasa pada 23 Maret 2023. Penetapan itu berdasarkan metode yang selama ini dipegang oleh organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu.

Metode yang digunakan disebut Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Sudah sejak lama organisasi Islam moderat itu menggunakan perhitungan astronomi sebagai penentuan awal bulan Hijriah.

Meski demikian, Muhammadiyah menampik anggapan jika metode tersebut dianggap telah usang oleh seorang pakar astronomi. Bahkan, sikap Muhammadiyah tersebut disebut sebagai tindakan yang mengedepankan ego organisasi, sehingga berpotensi memecah belah ukhuwah Islam.

Dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi menanggapi tuduhan di atas. Menurut dia, tanpa disadari pernyataan di atas justru lebih potensial bisa memprovokasi keharmonisan umat Islam, khususnya di Indonesia.

Lebih dari itu, memaksakan kriteria MABIMS sebagai metode penentuan awal bulan justru akan semakin sulit mewujudkan persatuan Islam.

Sebab alih-alih ingin merealisasikan ukhuwah Islamiyah, dengan menaikkan kriteria ketinggian hilal 2 derajat menjadi 4 derajat saja telah semakin membuka perbedaan yang semakin lebar. Padahal, kriteria 2 derajat sudah digunakan bertahun-tahun lamanya.

“Teringat betul ketika Kemenag masih menggunakan ketinggian 2 derajat, pada saat itu cuaca sangat mendung yang secara nalar sehat tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal dalam ketinggian 2 derajat. Namun, karena berdasarkan hisab bahwa ketinggian hilal mencapai 2 derajat, maka seakan dipaksakan harus ada yang melaporkan melihat hilal,” terang Ruslan pada Sabtu (18/03).

Kini ketika Kemenag mempersyaratkan ketinggian hilal 4 derajat, maka sekali pun sekelompok masyarakat melaporkan bahwa mereka telah melihat hilal dalam ketinggian 2-3 derajat dan mereka berani disumpah sekali pun, kesaksian mereka tetap ditolak karena belum mencapai ketinggian 4 derajat.

“Berbeda jauh dengan pada zaman Rasulullah SAW ketika seorang Badui (rakyat jelata) memberi kesaksian telah melihat hilal dan mau disumpah, kesaksian sang Badui-pun diterima,” sebutnya.

Simak juga video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alasan Muhammadiyah Menggunakan Hisab

Masih dari laman Muhammadiyah.or.id, Ruslan menegaskan penggunaan Wujudul Hilal bukan berdasarkan ego tetapi berdasarkan dalil agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sebagaimana juga sering disampaikan oleh Syamsul Anwar bahwa setidaknya ada tujuh alasan mengapa Muhammadiyah istiqomah menggunakan Hisab Hakiki Wujudl Hilal.

Pertama: karena semangat Al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an; “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman [55]:5). Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar secara pasti (eksak), tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena memilik manfaat yang sangat banyak, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (QS. Yunus [10] ayat: 5).

Kedua: Rasulullah Saw menggunakan rukyat, karena itulah cara yang memungkinkan untuk digunakan saat itu, yang oleh Rasyid Ridha dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan bahwa perintah melakukan rukyat adalah amrun ma’lulah (perintah yang memiliki ilat atau causa hukum), sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw; “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa (tidak terbiasa) menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga: Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender, apalagi kalender global hingga sekian puluh atau seratus tahun yang akan datang. Rukyat tidak dapat dijadikan sarana untuk menentukan penanggalan jauh ke depan, sebab tanggal baru bisa diketahui pada H-1, yang dalam konteks Indonesia menyebabkan masyarakat di daerah Timur bingung untuk mengakhiri rangkaian ibadah ramadhannya termasuk shalat tarawih karena di daerahnya telah masuk waktu isya’ sementara di Jakarta masih sore dan menunggu sidang itsbat yang sejatinya tidak diperlukan.

Keempat: Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global (Kalender Islam Internasional). Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.

Kelima: Jangkauan rukyat terbatas, akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qomariah di seluruh dunia. Pada sisi lain ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat dan dapat menjadi solusi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara agama maupun saintifik.

Keenam: Pada masa Nabi rukyat tidak problematik karena terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi saw, tidak seperti saat ini yang telah mendunia.

Ketujuh: Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah, karena di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah Barat sudah terukyat, demikian pula sebaliknya. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qomariah. Akibatnya kawasan ujung Barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.