Sukses

22,4 Persen Mahasiswa PPDS Alami Gejala Depresi, Bagaimana di Negara Lain?

Sebanyak 2.716 atau 22,4 persen calon dokter spesialis di Indonesia mengalami gejala depresi, begini angka di luar negeri.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengungkap data terkait 22,4 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mengalami gejala depresi.

Data ini diungkap dengan skrining kesehatan jiwa menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9. Kuesioner dijawab oleh total 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Hasilnya, 2.716 atau 22,4 persen calon dokter spesialis mengalami gejala depresi.

Rincian tingkat depresi dari 22,4 persen PPDS yang bergejala yakni:

  • Sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat.
  • Sebanyak 1,5 persen dengan depresi sedang-berat.
  • Sebanyak 4 persen depresi sedang.
  • Sebanyak 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.

Terkait angka ini, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa depresi pada mahasiswa PPDS tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di luar negeri.

Depresi pada mahasiswa PPDS di luar negeri disebut lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Depresi pada PPDS di luar negeri angkanya lebih tinggi, rata-rata 28.8 persen, dengan kisaran antara 20.9 persen sampai 43.2 persen, ini berdasar berbagai penelitian PPDS di berbagai tempat di luar negeri,” kata Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis, Rabu (17/4/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Lima Tindak Lanjut yang Perlu Dilakukan

Tjandra menambahkan, ada lima tindak lanjut yang perlu dilakukan sehubungan data Kementerian Kesehatan RI ini. Kelima tindak lanjut itu adalah:

Skrining Serupa di Berbagai Program Pendidikan

Tjandra berpendapat, untuk lebih menjelaskannya tentang masalah depresi ini, maka perlu skrining dengan metode serupa pada berbagai jenis program pendidikan yang ada. Bahkan, termasuk skrining kesehatan jiwa pada masyarakat umum.

“Ini adalah tindak lanjut pertama yang perlu dilakukan. Apalagi belakangan memang banyak disebut kenaikan angka depresi di negara kita dan juga di dunia,” ujar Tjandra.

3 dari 5 halaman

Verifikasi dan Evaluasi Psikologis

Perlu diketahui bahwa survei Kemenkes ini berdasar pada metode skrining massal, lanjut Tjandra.

Maka dari itu, tentu kasus yang ditemukan perlu diverifikasi dengan diagnosis yang pasti. Caranya dengan memeriksa gejala dan evaluasi psikologis, seperti:

  • Suasana hati
  • Nafsu makan
  • Pola tidur
  • Tingkatan aktivitas pikiran.

“Untuk menghindari kemungkinan penyakit lain, tenaga medis juga mungkin akan melakukan pemeriksaan fisik dan melakukan tes darah dan lain-lain.”

4 dari 5 halaman

Obati Berdasarkan Diagnosis yang Jelas

Tindak lanjut ketiga adalah mengobati mahasiswa PPDS yang depresi dengan berdasar pada diagnosis yang jelas.

“Prinsip dasar ilmu kedokteran adalah mengobati berdasar diagnosis yang jelas. Jadi ada tidaknya depresi pada PPDS (atau siapapun) perlu di diagnosis oleh pakarnya, yaitu dokter jiwa, psikolog atau dokter dan petugas kesehatan lain yang kompeten,” ujar Tjandra.

“Jadi tidak hanya berdasar jawaban pertanyaan skrining masal saja, perlu pemeriksaan rinci selanjutnya. Karena PPDS ini ada di RS Vertikal Kemenkes maka di RS-RS itu tentu ada pelayanan kesehatan jiwa yang lengkap, sehingga diagnosis pasti dapat ditegakkan sesuai kaidah ilmu yang baik,” sambungnya.

5 dari 5 halaman

Konsultasi dengan Petugas Kesehatan Jiwa yang Kompeten

Jika memang ada gangguan depresi dengan berbagai tingkatannya, maka para petugas kesehatan jiwa sudah amat menguasai cara penanganannya, kata Tjandra.

“Ingat, gangguan kesehatan mental secara umum adalah luas dan cukup banyak pasiennya dengan derajat yang berbeda-beda tentunya.”

“Tegasnya, kalau ada depresi dan lain-lain pada PPDS dan juga masyarakat pada umumnya maka silahkan konsultasikan pada petugas kesehatan jiwa yang kompeten yang dulunya juga tentu pernah jadi PPDS,” saran Tjandra.

Pemerintah Perlu Beri Sarana

Upaya tindak lanjut yang terakhir adalah pentingnya peran pemerintah. Menurut Tjandra, pemerintah perlu memberi sarana dan kemudahan agar para PPDS dapat menjalankan pendidikannya dengan baik.

“Ingat, tenaga dokter dan dokter spesialis amat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan kita,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.