Liputan6.com, Jakarta - Penolakan terhadap RUU Kesehatan Omnibus Law masih lantang disuarakan, terutama oleh 5 Organisasi Profesi Kesehatan. Para dokter dan tenaga kesehatan yang tergabung di organisasi profesi tersebut menyuarakan 'Setop Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law' dalam dua kali aksi damai, yakni 8 Mei dan 5 Juni 2023.
Mengenai hal tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril mengungkapkan padangan atas alasan di balik keributan tolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Keributan pun amat terasa di media sosial dengan gempuran opini dan kritik.
Baca Juga
Salah satu alasannya terkait status dan peran Organisasi Profesi (OP). Di dalam RUU Kesehatan, sebagian wewenang organisasi profesi dihilangkan dan OP tak lagi satu atau tunggal.
Advertisement
"Keributan di media massa dan social media sebenarnya berfokus pada masalah nama OP yang tidak disebutkan di RUU, wewenang OP yang sebagian dihilangkan, dan OP tidak lagi tunggal," ungkap Syahril saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Selasa, 6 Juni 2023.
"Wewenang yang hilang ini terkait pemberian 'rekomendasi' untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP)."
Peran Organisasi Profesi Sangat Besar
Sejak tahun 2004, lanjut Syahril, wewenang penuh Pemerintah untuk menerbitkan Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) dialihkan sebagian besar ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"Secara formal memang benar STR dikeluarkan oleh lembaga negara Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP oleh pemerintah daerah. Namun, dalam prosesnya peran OP sangatlah besar," katanya.
"Contoh, KKI tidak bisa menerbitkan STR untuk dokter jika kolegium belum menyetujui Satuan Kredit Profesi (SKP) dokter bersangkutan dinilai cukup. Kolegium saat ini berada di bawah IDI."
Penolakan RUU Kesehatan Dinilai untuk Kepentingan Kelompok
Selanjutnya, pemerintah daerah (pemda) tidak bisa menerbitkan Surat Izin Praktik (SIP) untuk dokter jika IDI setempat dan perhimpunan dokter spesialis (untuk dokter spesialis), yang juga di bawah IDI, tidak menyetujui atau tidak mau mengeluarkan 'rekomendasi.'
Menilik kondisi di atas, Mohammad Syahril menilai penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan sebenarnya menyasar kepentingan kelompok saja.
"Jadi, penolakan terhadap RUU bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan kelompok yang selama hampir 20 tahun ini memiliki berbagai kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Pemerintah," tegasnya.
Penolakan RUU Kesehatan Dikaburkan dengan Pernyataan yang Tidak Tepat
Dengan demikian, keributan penolakan RUU Kesehatan seolah-olah digaungkan dengan kerugian terkait kinerja dokter dan tenaga kesehatan, pendidikan spesialis, kriminalisasi hingga kekhawatiran terhadap kualitas dokter yang akan menurun.
"Inti penolakan ini dikaburkan dengan berbagai pernyataan yang tidak tepat. RUU Kesehatan ini dianggap seolah-seolah akan menyebabkan membanjirnya dokter asing ke Indonesia, kriminalisasi dokter, penghilangan sistem pengawasan dokter sehingga kualitas dokter akan turun," pungkas Syahril.
"Kemudian menurunkan mutu pendidikan residen sampai memusatkan wewenang (kepada) Kemenkes."
Advertisement
Hilangnya Peran Organisasi Profesi
Isu RUU Kesehatan ramai diperbincangkan, salah satunya terkait peran organisasi profesi yang dihilangkan dalam peraturan tersebut. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menilai hal itu justru akan mengancam keselamatan pasien.
Anggota Tim Hukum dan Legislasi PB PDGI, Khoirul Anam memaparkan, terdapat beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dianggap melemahkan organisasi profesi.
Selain itu, ada juga pasal yang seharusnya ada, tapi dihilangkan. Namun, Khoirul tidak merinci lebih lanjut, pasal mana saja yang dimaksud.
"Hal tersebut telah menjadi perhatian serius dari seluruh organisasi profesi lintas Kesehatan. Masih ada banyak isu krusial yang disoroti, misalnya hilangnya peran organisasi profesi dalam mengontrol kompetensi anggotanya," papar Khoirul melalui pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 10 April 2023.
Organisasi Profesi Jaga Kualitas Pelayanan Medis
Adanya peran organisasi profesi yang dihilangkan dari RUU Kesehatan sangat disayangkan oleh Khoirul. Sebab, peran organisasi profesi sangat penting untuk menjaga kualitas pelayanan medis kepada masyarakat.
"Organisasi profesi selama ini selalu memantau dan membina anggotanya agar senantiasa memberikan layanan yang profesional kepada pasien. Hal ini dikontrol dan dibina melalui Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan serta pemberian rekomendasi izin praktik," terangnya.
Sementara dalam draft RUU Kesehatan, peran organisasi profesi tersebut ditiadakan atau diambil alih oleh pihak lain.
“Akibat paling mendasar dari perubahan ini adalah mengancam akan berdampak pada faktor keselamatan pasien," sambung Khoirul.
Pemerintah Tak Hilangkan Kewenangan Organisasi Profesi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyatakan Pemerintah tidak akan menghilangkan peran dan kewenangan organisasi profesi (OP), khususnya dalam proses penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) tenaga medis maupun tenaga kesehatan di Indonesia.
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI Arianti Anaya mengatakan, Pemerintah hanya berupaya menyederhanakan alur penerbitan SIP serta melakukan transformasi sistem informasi yang terintegrasi.
"Makanya, peran OP dibilang dihilangin? Ya tidak, tidak dihilangkan. Bagaimana OP, kolegium, dan konsil yang menjaga standar. Pemerintah hanya mengawasi dan membuatkan sistem, tapi tetep saja peran mereka (OP) ada di situ," katanya saat ditemui Health Liputan6.com usai Focus Group Discussion dan Sosialisasi RUU Kesehatan di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Kewenangan Organisasi Profesi untuk Penerbitan SIP
Organisasi profesi tetap diberikan wewenang untuk memberikan rekomendasi SIP kepada dokter sebelum SIP resmi diterbitkan. Yang terbaru ke depannya, Kemenkes akan mengintegrasikan dengan satu sistem dan akan diawasi pemerintah.
Dengan demikian, OP tetap berhak untuk menilai dan mengevaluasi, apakah seorang tenaga kesehatan atau tenaga medis layak mendapatkan SIP atau tidak lantaran kasus etik dan lain sebagainya.
"OP yang harus berkoordinasi, OP yang harus memutuskan dengan Pemda. Apakah ini memang harus dicabut tidak boleh praktik atau nanti pada saat perpanjangan dia tidak boleh lagi (dapat SIP)," jelas Ade, sapaan akrabnya.
Advertisement