Sukses

Protein Hewani Senjata Perangi Stunting, Konsumsi Telur dan Susu Cegah Anak Pendek

Susu dan telur adalah senjata untuk perangi stunting di Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial yang bersumber dari protein hewani.

Hal ini disebabkan kelengkapan, kecukupan, dan bioavailabilitas asam amino esensial pada protein hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein nabati.

Penjelasan ini disampaikan Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Ph.D, Sp.A(K).

Protein Hewani Cegah Stunting

Protein nabati memiliki limiting amino acids yang menghasilkan pembentukan protein --- misalnya hormon pertumbuhan yang kurang efektif.

Meski demikian perlu memerhatikan juga perbandingan protein dan energi guna mencapai kenaikan berat badan atau tinggi badan yang cukup.

"Perbandingan protein dan energi sebesar 1,6 gr/100 kcal atau 6,4 persen terbukti secara konsisten menghasilkan penambahan panjang memuaskan pada anak normal," kata Damayanti dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin (30/1).

"Tetapi dalam keadaan malanutrisi mulai dari weight faltering (kenaikan berat badan tak memadai) sampai stunting diperlukan perbandingan protein dan energi yang lebih besar dari 10 persen," tambahnya. 

Mengapa Konsumsi Telur dan Susu Cegah Anak Stunting?

Konsumsi asam amino esensial akan memengaruhi pembentukan protein dan lemak dalam tubuh, termasuk hormon pertumbuhan. 

Di antara sumber protein hewani, susu dan telur mempunyai nilai digestible indispensable amino acid score (DIAAS) tertinggi.

Menurut Prof Damayanti, penelitian membuktikan susu dan telur berperan paling penting dalam pencegahan stunting.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Protein Hewani dalam MPASI

Damayanti menjelaskan, sebanyak 20 persen anak mulai mengalami stunting sejak lahir, 20 persen pada saat mendapatkan air susu ibu (ASI) yakni 0-6 bulan. Sebanyak 50 persen pada masa pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), serta 10 persen di atas usia 3 tahun.

Berdasarkan data ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan inisiasi menyusu dini (di bawah 1 jam setelah lahir) agar dapat mencapai ASI eksklusif selama 6 bulan.

Pemberian MPASI paling lambat dimulai pada usia 6 bulan sambil meneruskan pemberian ASI. Sayangnya hingga tahun 2010, Damayanti masih menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif 6 bulan di Indonesia baru berkisar 15 persen.

Padahal, ASI memiliki komponen bioaktif yang tidak dimiliki susu formula manapun. Adapun pemberian MPASI harus dilakukan tepat waktu, kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang, baik makro maupun mikro, aman, serta diberikan secara responsif.

Berdasarkan data Riskesdas 2010, ternyata hanya sekitar 38 persen MPASI di Indonesia yang mengandung protein hewani.

3 dari 4 halaman

3 Tahap Percepatan Penurunan Stunting

Lebih lanjut, Damayanti menjelaskan, strategi percepatan penurunan stunting sendiri dirumuskan melalui tiga tahapan. Dimulai dari pencegahan primer pada bayi normal di Posyandu dengan mensosialisasikan ASI, MPASI, dan makanan keluarga berbasis protein hewani. Serta penimbangan berat badan setiap bulan untuk mendeteksi dini weight faltering.

Selanjutnya, anak dirujuk ke Puskesmas dan menjalani pencegahan sekunder saat bayi sudah mengalami weight faltering, berat badan kurang, gizi kurang dan gizi buruk.

Di Puskesmas, anak harus ditangani dokter layanan primer yang mendeteksi dini serta menatalaksana segera penyakit penyerta misalnya tuberkulosis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan lain-lain. Serta memberikan terapi pangan olahan untuk keperluan diet khusus (PDK).

4 dari 4 halaman

Jika Sudah Terjadi Stunting

Jika sudah terjadi stunting, maka dirujuk ke RSUD untuk mendapatkan pencegahan tersier oleh dokter spesialis anak, lalu ditatalaksana sesuai indikasi.

Jika perlu terapi khusus bisa diberikan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) yang sesuai peruntukannya. Ini dilakukan agar menyelesaikan masalah stunting dan mencegah penurunan kognitif terlalu besar.

Jika ditemukan faktor lain di luar medis yang menyebabkan stunting, maka perlu dilakukan pendekatan lintas sektoral. Contoh pada kasus-kasus terkait kemiskinan, penelantaran, higienitas dan ketidaktahuan.

Ini semua sudah dituangkan dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting melalui Keputusan Menkes RI No. HK.01.07/MENKES/1928/2022 yang diterbitkan pada Desember 2022.

Tata laksana ini sendiri sudah dijalankan sejak 2018 dan hasilnya pada penelitian terakhir yang dilakukan di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia pada tahun 2022. Kejadian stunting bisa dicegah hingga 91,7 persen di tingkat posyandu dan puskesmas.

Pada akhirnya, setelah 6 bulan terbukti kejadian stunting baru bisa dicegah hingga 2 persen saja. Ini memperlihatkan pemberian protein hewani dan tata laksana rujukan medis bisa menurunkan angka kejadian stunting.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.