Sukses

Pakar: Tren Penyakit Radang Usus Lebih Banyak Ditemukan di Perkotaan

Inflammatory bowel disease (IBD) atau penyakit radang usus adalah penyakit kombinasi dari faktor-faktor autoimun, makanan, lingkungan, dan ada faktor genetik.

Liputan6.com, Jakarta Inflammatory bowel disease (IBD) atau penyakit radang usus adalah penyakit kombinasi dari faktor-faktor autoimun, makanan, lingkungan, dan ada faktor genetik.

Menurut dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan gastroenterologi hepatologi RSCM-FKUI, Prof. Marcellus Simadibrata, IBD di dunia barat kasusnya sudah banyak, sedang di Asia termasuk Indonesia kasusnya masih terbilang sedikit yakni 0,88/100.000 penduduk.

“Namun, trennya semakin meningkat terutama di kalangan masyarakat urban sehingga kita perlu waspada,” ujar Marcellus dalam seminar daring PT. Takeda Indonesia, Sabtu (22/5/2021).

Peningkatan kasus IBD di daerah urban atau perkotaan disinyalir akibat pola makan tidak sehat seperti makanan cepat saji yakni burger, ayam tepung, dan lain-lain.

“Pola hidup dan pola makan sangat berpengaruh pada timbulnya IBD, kota besar kasusnya memang lebih banyak dari pedesaan, tapi kita belum ada data terkait itu. Memang di negara lain trennya lebih banyak di kota besar ketimbang di kota kecil atau pedesaan.”

Ia juga menyinggung, awalnya hari kesadaran IBD atau World IBD Day diperingati di Amerika dan negara barat saja. Namun, seiring bertambahnya kasus IBD di Indonesia, akhirnya World IBD Day yang jatuh pada 19 Mei juga diadopsi di Tanah Air.

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gejala dan Pengobatan

IBD adalah penyakit menahun atau berjalan lama dengan gejala hilang timbul, lanjut Marcellus.

“Gejalanya sendiri termasuk diare berkepanjangan disertai darah dan nyeri perut kronis yang tidak hilang dalam waktu lama.”

Sedangkan, jika ada gejala sakit di bagian perut ketika batuk itu belum tentu gejala dari IBD. Menurutnya, sakit di area perut saat batuk lebih memiliki kaitan erat dengan gerakan otot perut secara tiba-tiba.

Pengobatan untuk penyakit ini terdiri dari tiga cara yakni non farmakologis atau tanpa obat-obatan termasuk pola diet dan memperbaiki gaya hidup. Pengobatan cara kedua adalah dengan konsumsi obat-obatan (farmakologis) yang kadang-kadang menekan sistem imunitas dalam tubuh.

Bagi pasien COVID-19, pengobatan dengan konsumsi obat tidak dianjurkan karena sistem imun akan menurun dan membuat COVID-19 lebih parah, katanya. Untuk pengobatan farmakologis, perlu konsultasi terlebih dahulu dengan dokter karena pengobatan dapat menimbulkan efek samping tertentu pada pasien. Pengobatan cara ketiga adalah dengan operasi bedah, tutupnya.

 

3 dari 3 halaman

Infografis Waspada Klaster Baru COVID-19 Bermunculan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.