Sukses

Penyintas COVID-19 Akui Muncul Gejala Menetap di Tubuh Setelah Dinyatakan Sembuh

Sejumlah orang yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 atau penyintas di New York, AS, merasa ada beberapa gejala yang menetap setelah disebut berhasil melawan COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah orang yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 atau penyintas di New York, AS, merasa ada beberapa gejala yang menetap setelah disebut berhasil melawan COVID-19.

Salah satu di antaranya terjadi pada Diana Berrent, seorang fotografer dan ibu dari dua anak yang tinggal di pinggiran Kota New York City. Di suatu pagi di bulan Maret, Berrent terbangun dengan demam dan merasa sesak, yang kemudian ia tahu bahwa ia menderita COVID-19 intensitas sedang. Setelah sakit selama beberapa minggu dan mengisolasi diri di rumah dengan obat yang saat itu direkomendasikan, ia pun berangsur-angsur pulih.

Setelah mengalami kejadian luar biasa tersebut, Berrent mendirikan Survivor Corps, sebuah komunitas berbasis media sosial yang bertekad untuk meningkatkan kesehatan mereka sendiri, mendidik masyarakat, dan membantu komunitas ilmiah dalam upaya untuk lebih memahami COVID-19. Halaman Facebook tersebut baru-baru ini telah mencapai 100.000 anggota, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang ingin membahas gejala yang mereka alami dalam waktu lama setelah pulih dari COVID-19.

Para anggota Survivor Corps merekam pengalaman secara real time, jadi mereka telah mengetahui beberapa hal sebelum muncul di media. Misalnya mereka telah mengetahui "gejala jari kaki COVID-19" atau ruam/lesi pada kulit kaki sebulan sebelum akhirnya muncul di media. Sama halnya dengan rambut rontok. Adapun gejala lain yang ditemukan termasuk hilangnya indra perasa dan penciuman yang berkepanjangan, serta masalah yang lebih serius seperti stroke ringan dan diabetes yang baru muncul.

Belum lama ini, komunitas tersebut diajak profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indiana mensurvei orang-orang yang selamat dari COVID-19 dan mempelajari lebih lanjut tentang apa yang dialami oleh mereka. Terdapat lebih dari 1.500 orang menanggapi survei sejak bulan Juli. Beberapa melaporkan masalah pernapasan dan kardiovaskular, tetapi mereka menyimpulkan bahwa nyeri sendi, ruam, nyeri otot, pusing, kebingungan, perubahan penglihatan, depresi, dan kecemasan juga relatif umum terjadi.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Disregulasi sistem kekebalan

Berrent sendiri salah seorang yang merasa baik-baik saja awalnya setelah sembuh dari COVID-19, namun sekarang merasakan gejala penyakit misterius. Dia mengatakan kalau baru-baru ini mengalami sakit telinga tengah, sakit kepala, mual, dan penglihatan kabur.

Kelelahan yang berkepanjangan, nyeri otot dan tubuh, serta kesulitan berkonsentrasi atau fokus tampaknya sangat umum di antara para penyintas COVID-19. Sehingga kumpulan gejala tersebut dijuluki "sindrom pasca COVID-19" dan disamakan dengan chronic fatigue syndrome (CFS), meskipun kebanyakan orang yang mengembangkannya setelah COVID-19 tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk CFS.

"Kemungkinan ada hubungannya dengan disregulasi sistem kekebalan, peradangan yang sedang berlangsung di tubuh, dan kerusakan langsung ke otak atau sumsum tulang belakang yang dapat mengganggu komunikasi antar neuron," Esther Melamed, MD, PhD , asisten profesor neurologi di Dell Medical School di The University of Texas di Austin, mengatakan kepada Health.com.

Namun, gejala sindrom pasca COVID-19 ini masih simpang siur, apakah itu memang kasus unik atau belum tentu itu gejala pasca COVID-19.

Ann Parker, MD, PhD, asisten profesor di Division of Pulmonary and Critical Care Medicine di Johns Hopkins University di Maryland, yang mempelajari pemulihan perawatan pasca-kritis, mengatakan bukan hal yang aneh bagi orang yang melawan segala jenis infeksi serius, kemudian merasa lemah dan lelah selama berbulan-bulan sesudahnya.

Masalah kognitif dan masalah kesehatan mental yang mirip dengan PTSD (gangguan stres pasca trauma) juga sering terjadi, terutama di antara orang-orang yang sakit parah sehingga menghabiskan banyak waktu di ICU.

Rebecca Keith, MD, salah satu direktur Respiratory Recovery Clinic di National Jewish Health di Denver, setuju bahwa terlalu dini untuk menentukan apakah masalah yang muncul khusus untuk COVID-19. Namun ia dan rekan peneliti, termasuk yang ada di lembaga Mount Sinai di New York, berharap untuk mencari tahu hal tersebut. Dia tertarik setelah beberapa kali menerima pasien yang berkonsultasi masalah terkait.

"Beberapa pasien tidak pernah dirawat di ICU atau bahkan dirawat di rumah sakit," kata Dr. Keith kepada Health, mencatat bahwa tidak hanya mereka yang awalnya sakit parah yang mengalami masalah beberapa bulan kemudian. Dalam kasus tertentu, pasien mengatakan gejala awal mereka tidak pernah sepenuhnya terselesaikan. Di lain pihak, beberapa pasien mengira mereka telah pulih, tapi ternyata tidak lama kemudian mengembangkan gejala baru terkait COVID-19.

Adapun Ruby Engel, seorang penduduk Westchester, New York, yang telah menghabiskan beberapa bulan terakhir di Colorado untuk rutin memeriksakan diri di klinik Keith karena dirinya memiliki kasus COVID-19 yang sangat ringan pada bulan Maret. "Sembilan puluh sembilan persen pilek saya lebih buruk (daripada pilek musiman)," katanya kepada Health. Sejak itu, dia mengalami serangan sesak napas, jantung berdebar, dan nyeri dada. Bahkan belum lama ini ia didiagnosis dengan kardiomiopati (melemahnya otot jantung).

Engel juga pernah mengalami serangan asma dan refluks, penyakit yang dideritanya sebelum COVID, tetapi dapat dikendalikan dengan baik. "Ini hampir seperti virus yang kembali mengaktifkan masalah kesehatan sebelumnya," katanya.

Menurut Dr. Keith, hal tersebut sangat memungkinkan karena saat COVID-19 bisa memperburuk sensitivitas saluran napas bagian atas yang sebelumnya pasien memiliki masalah mendasar seperti menderita batuk kronis yang terkontrol maka para dokter mungkin perlu menangani masalah mendasar itu lagi. "Kami harus mundur dan melihat kondisi pasien secara menyeluruh," katanya.

"Dari perspektif penelitian, triknya adalah untuk mengetahui gejala mana yang merupakan masalah kesehatan yang sedang berlangsung yang dapat diperburuk oleh penyakit virus apa pun terkait dengan COVID itu sendiri," jelas Dr. Keith.

“Setiap gejala yang dialami pasien merupakan gejala nyata yang perlu ditangani,” kata Dr. Parker. Namun, sayangnya itu menjadi masalah besar terutama bagi wanita. Beberapa diberitahu dokternya bahwa mereka didiagnosis dengan kecemasan, padahal sebenarnya mereka menderita takikardia (kondisi jantung berdetak sangat cepat atau pada orang dewasa mencapai 100 kali per menit).

 

3 dari 4 halaman

Apa yang kini diketahui dokter tentang kondisi pasca-COVID-19?

Reynold Panettieri, MD, profesor kedokteran di Rutgers Robert Wood Johnson Medical School di New Jersey, memperkirakan sekitar 10% pasien COVID-19 akan mengembangkan masalah kronis.

"Kabar baiknya adalah meskipun pasien COVID-19 tampak rapuh, tetapi secara keseluruhan sebagian besar orang yang memiliki sindrom pasca COVID-19 ini tampaknya membaik," ujarnya.

Dr. Keith juga relatif optimis. Kami telah melihat batuk kronis, sesak napas, komplikasi kardiovaskular, dan penyakit paru-paru, bahkan sejak 3-6 bulan dari infeksi awal. Tetapi kebanyakan dari pasien ini kondisinya berangsur-angsur pulih."

Selain dari survei komunitas Survivor Corps / Indiana University, berbagai penelitian tentang penyintas COVID-19 sedang dilakukan di seluruh negeri. Pada bulan Juni, National Health, Lung, and Blood Institute (NHLBI) meluncurkan Studi Observasi COVID-19, yang akan berfokus pada implikasi jangka panjang dari virus tersebut. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga memiliki tim tanggap yang sebagian bertugas untuk mengawasi sindrom pasca COVID-19. Kalau di Inggris, National Institute for Health Research mempelopori "Studi COVID-19 Pasca Perawatan Rumah Sakit".

Namun memang membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun bagi ilmu pengetahuan untuk memberikan jawaban yang pasti. Ketidakpastian ini mungkin bisa membuat stres bagi yang terlanjur terinfeksi COVID-19, karena masih belum jelas bagaimana nasib mereka dikemudian hari. Sedangkan di saat yang sama, mereka juga mencemaskan orang-orang yang "angkuh", tidak menanggapi potensi dampak serius dari tindakan mereka yang mengabaikan jaga jarak, tidak memakai masker, dan tidak mempraktikkan pola hidup bersih dan sehat.

4 dari 4 halaman

Infografis DISIPLIN Protokol Kesehatan Harga Mati

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.