Sukses

Produksi Minyak dan Gas Amerika Serikat Akan Memecahkan Rekor pada Tahun 2023 di Tengah Tantangan Tujuan Iklim PBB

Amerika Serikat diproyeksikan akan mengekstraksi 12,9 juta barel minyak mentah ketika negara-negara di COP28 mendorong penghentian bahan bakar fosil yang telah disepakati.

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat (AS) dilaporkan mengekstrasi lebih banyak minyak dan gas pada 2023, tahun paling panas yang pernah tercatat.

Hal tersebut menjadi latar belakang yang menakutkan bagi perundingan penting PBB tentang perubahan iklim, yang berharap untuk mengakhiri era penggunaan bahan bakar fosil.

Status AS sebagai produsen terkemuka minyak dan gas semakin meningkat pada tahun ini, meskipun Joe Biden telah memperingatkan tentang krisis iklim yang sedang terjadi. Perkiraan pemerintah federal menunjukkan rekor produksi minyak mentah sebesar 12,9 juta barel pada tahun 2023, melebihi lebih dari dua kali lipat dari produksi 10 tahun sebelumnya.

Melansir dari The Guardian, Senin (18/12/2023), tahun ini rekor produksi gas juga akan terpecahkan karena banyaknya terminal ekspor baru di pantai Teluk Meksiko. Hal tersebut memungkinkan lonjakan ekspor gas alam cair (LNG) AS untuk meningkat dua kali lipat dalam empat tahun mendatang.

Menariknya, pemerintah AS memperkirakan bahwa hiruk-pikuk produksi minyak dan gas akan terus berlanjut mendekati level rekor hingga tahun 2050.

Namun, pada titik tersebut, para ilmuwan mengatakan bahwa emisi yang menyebabkan pemanasan global harus dihentikan agar kerusakan iklim yang parah dapat dihindari. Sebuah laporan terbaru menemukan bahwa sekitar sepertiga dari rencana ekspansi minyak dan gas di seluruh dunia dalam periode ini akan terjadi di Amerika Serikat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Tinjauan KTT Iklim COP28 di Dubai

Pada KTT Iklim COP28 yang dimulai di Dubai awal Desember, Uni Eropa dan sejumlah negara yang memiliki ambisi tinggi mulai dari Kenya hingga Samoa berupaya mendorong untuk sepakat menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Meski pada akhirnya yang disepakat adalah transisi energi dari bahan bakar fosil.

Menurut Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, produksi bahan bakar fosil menjadi "akar beracun" dari krisis iklim yang harus diatasi. Guterres menyatakan bahwa COP28 perlu secara jelas menunjukkan bahwa era bahan bakar fosil telah berakhir, dan bahwa hal tersebut tidak dapat dielakkan.

Namun, lonjakan produksi bahan bakar fosil di AS melemahkan tujuan tersebut.

Michael Lazarus, seorang ilmuwan senior di Stockholm Environment Institute yang berkontribusi pada laporan PBB terbaru, mengungkap keprihatinan terhadap proyeksi rekor produksi minyak dan gas AS hingga tahun 2050.

Laporan tersebut menemukan bahwa peningkatan produksi bahan bakar fosil AS sejalan dengan peningkatan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius dari periode pra-industri.

"AS mengunci produksi selama bertahun-tahun sehingga sulit mencapai tujuan iklim,"ujar Lazarus. Menurutnya, hal tersebut tidak sejalan dan perlu dipertimbangkan ulang.

3 dari 7 halaman

Langkah AS dalam Krisis Iklim di Bawah Pemerintahan Biden

Di bawah kepemimpinan Joe Biden, AS telah mengesahkan undang-undang iklim besar pertamanya, yang disebut sebagai Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Hal tersebut telah mendorong investasi rekor dalam sumber energi ramah lingkungan seperti tenaga surya dan angin, serta meningkatkan penjualan kendaraan listrik.

Pemerintahan presiden AS juga telah menerapkan regulasi baru terkait polusi untuk mengurangi emisi dari kendaraan bermotor, truk, dan pembangkit listrik.

Baru-baru ini, AS juga menjalin kesepakatan baru dengan Tiongkok, satu-satunya negara yang menghasilkan lebih banyak karbon daripada AS, untuk mengambil langkah-langkah lebih lanjut dalam menanggulangi krisis iklim.

Meskipun demikian, emisi energi AS mengalami penurunan sedikit dan diperkirakan akan turun sekitar 3 persen tahun ini. Namun, penurunan ini masih belum sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan iklim AS.

Namun, banyaknya pengeboran minyak dan gas dalam negeri telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan para ilmuwan dan beberapa sekutu Biden. Mereka khawatir bahwa hal ini dapat merusak upaya untuk mencegah pemanasan global hingga mencapai 3 derajat Celsius, yang oleh Guterres digambarkan sebagai hal yang sangat buruk.

4 dari 7 halaman

Kritik Terhadap Keterlibatan AS dalam COP28

Menurut Jeff Merkley, seorang senator dari Partai Demokrat di Oregon, para perwakilan Amerika Serikat di COP28 tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dalam usaha menghilangkan penggunaan bahan bakar fosil.

"Kami tidak hanya memproduksi lebih banyak minyak dan gas dibandingkan negara lain, tetapi Tim Biden juga memberi lampu hijau pada proyek fosil," ujar Merkley.

Merkley berkata bahwa AS tidak memiliki otoritas moral untuk menghilangkan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.

Peningkatan produksi bahan bakar fosil, yang didorong oleh Biden tahun lalu dengan tujuan menurunkan harga bensin bagi pengemudi AS dan mendukung sekutu internasional setelah invasi Rusia ke Ukraina, memiliki risiko membebani komunitas yang kurang beruntung tinggal di dekat infrastruktur yang menyebabkan polusi.

Seorang penasihat dari Gedung Putih memperingatkan bahwa hal tersebut juga dapat memisahkan dukungan dari pemilih yang lebih muda dan peduli dengan masalah iklim menjelang pemilihan presiden tahun depan.

Jerome Foster, seorang aktivis iklim dan anggota dewan penasihat keadilan lingkungan di Gedung Putih, mengungkapkan, "Mereka mengatakan ingin memimpin dalam urusan iklim, tapi tindakannya bertolak belakang. Ini mengecewakan secara beragam dan sangat menyedihkan."

"Presiden Biden berbicara ingin menjadi presiden yang fokus pada isu iklim, tapi kami tidak melihatnya. Ia tidak memenuhi janjinya dan tidak mendapatkan dukungan dari gen Z," tambah Foster.

5 dari 7 halaman

Tantangan dan Dinamika Dalam Penghapusan Penggunaan Bahan Bakar Fosil

Delegasi AS pada KTT COP28, di mana Biden diperkirakan tidak akan hadir tahun ini, telah menyatakan bahwa mereka akan mendukung bahasa dalam perjanjian yang menuntut penghapusan bertahap bahan bakar fosil, dengan pengecualian teknologi seperti penangkapan karbon.

Para pejabat yang dipimpin oleh John Kerry, utusan iklim AS, mengakui bahwa pernyataan yang tepat mungkin perlu menjadi lebih "kreatif" agar bisa mencapai kesepakatan dari hampir 200 negara, termasuk negara-negara besar produsen minyak seperti Rusia dan Arab Saudi.

"Prioritas AS adalah bagaimana mengkatalisasi tindakan untuk mempertahankan suhu 1,5 Celcius, dan akan ada banyak pembicaraan dengan negara-negara untuk mengungkapkan hal tersebut dengan cara yang paling masuk akal," ujar Nate Hultman, mantan ajudan John Kerry, sekarang menjadi pakar kebijakan iklim di University of Maryland.

"Tetapi kita mempunyai dinamika yang terasa janggal, mengenai bagaimana mendamaikan dunia yang kita tinggali, yang sebagian besar bergantung pada bahan bakar fosil, dengan visi dunia yang bersih dan tidak mengeluarkan emisi. Itulah ketegangannya," tambah Hultman.

Meskipun deklarasi penghapusan tersebut dibuat di Dubai, kecil kemungkinan deklarasi tersebut akan terwujud melalui proses sukarela COP.

Kesepakatan sebelumnya untuk "mengurangi" penggunaan batu bara pada pertemuan COP di Skotlandia tahun 2021 diikuti oleh keputusan Inggris untuk memperbolehkan pembangunan tambang batu bara baru setahun kemudian.

Di Tiongkok, beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih terus dibangun, walaupun John Kerry menekankan perlunya pembatasan penggunaan batu bara di negara tersebut.

6 dari 7 halaman

Kompleksitas Kebijakan Iklim di Era Biden

Menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, yang menjadi penyebab utama krisis iklim, telah menjadi tantangan selama tiga dekade perundingan iklim internasional.

Para produsen utama sekarang merencanakan peningkatan besar-besaran produksi, meskipun gelombang panas, banjir, kekeringan, dan bencana terkait perubahan iklim semakin meningkat.

Meskipun Biden telah mendorong perkembangan energi terbarukan di AS, menggantikan industri bahan bakar fosil yang telah memiliki pengaruh kuat dengan mengenakan pajak karbon atau regulasi lainnya tetap menjadi isu politis yang sulit dilakukan.

Selain itu, ada juga biaya yang harus ditanggung terkait dengan emisi limbah metana, gas yang memiliki potensi untuk menyebabkan pemanasan global.

Sebaliknya, kebijakan Biden menyangkut penyewaan lahan publik untuk pengeboran minyak dan gas mendekati tarif yang sama dengan kebijakan Donald Trump. Di bawah pemerintahannya, terdapat izin untuk 17 proyek besar, termasuk proyek kontroversial seperti kompleks minyak Willow di Alaska.

Laporan terbaru dari Center for Biological Diversity memperkirakan bahwa proyek-proyek tersebut akan menghasilkan lebih dari 3,2 miliar ton gas rumah kaca sepanjang masa operasionalnya.

7 dari 7 halaman

Pandangan Terkait Insentif Energi AS, Kerja Sama Industri, dan Tantangan Pengurangan Bahan Bakar Fosil di COP28

"Undang-Undang Pengurangan Inflasi tidak melarang penggunaan bahan bakar fosil sama sekali - semuanya hanya berfokus pada insentif positif dan tidak ada larangan," ujar Kelly Gallagher, seorang mantan penasihat iklim di masa pemerintahan Barack Obama dan saat ini menjabat sebagai dekan sementara di Fletcher School, Tufts University.

Menurut Gallagher, jika Amerika telah mengambil langkah ini 20 tahun yang lalu, itu bisa menjadi cara yang baik untuk memprioritaskan pengembangan energi ramah lingkungan sebelum mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, waktu yang dimiliki sekarang sangatlah terbatas.

"Yang sulit adalah saat ini kita sedang memasuki tahun pemilu dan kecil kemungkinannya Presiden Biden akan mengambil langkah-langkah untuk mempercepat penurunan bahan bakar fosil di AS," jelas Gallagher.

Bagi perusahaan minyak dan gas besar, COP28 tidak tampak sebagai ancaman yang serius. Presiden KTT tersebut, Sultan Ahmed Al Jaber, yang juga menjadi kepala eksekutif Adnoc, perusahaan minyak nasional Uni Emirat Arab, menyatakan antusiasme terkait kerja sama dengan industri untuk mengurangi emisi.

Alih-alih menghapus model bisnis utama mereka dalam mengekstraksi minyak dan gas, ia lebih fokus pada upaya kerja sama tersebut.

"Harapan saya adalah Anda mulai melihat lebih banyak penekanan pada pernyataan masalah penghapusan emisi, dibandingkan pernyataan masalah yang berfokus pada industri minyak dan gas saja," ujar Darren Woods, CEO Exxon, dalam pernyataannya akhir November.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.