Sukses

Banyak Cerai, Pernikahan Wanita Indonesia dan Pria Korea Selatan Tak Seindah Imajinasi

Dubes RI untuk Korea Selatan Gandi Sulistyanto mengungkap sisi lain pernikahan dengan laki-laki Korsel.

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar RI untuk Korea Selatan, Gandi Sulistiyanto, menyorot hubungan antara wanita Indonesia dan laki-laki Korsel. Ia mengungkap bahwa indahnya fantasi menikahi pria Korea Selatan belum tentu akan sesuai kenyataan. 

Popularitas laki-laki Korea Selatan memang sedang naik karena popularitas drama-drama Korea. Selain itu, ada juga YouTuber yang menampilkan keseruan menikah beda negara dengan laki-laki Korea Selatan.

Tahun lalu, penyanyi Maudy Ayunda juga menikahi laki-laki Korea. Namun, pihak kedutaan menyaksikan banyak masalah perceraian dari pernikahan warga kedua negara. 

"Banyak pernikahan campuran Indonesia-Korea. Mayoritas wanita Indonesia menikahi laki-laki Korea. Itu kenyataan. Itu karena drama Korea. Wanita Indonesia berimajinasi menikahi laki-laki Korea mungkin akan menjadi sangat bahagia seperti drama Korea," ujar Dubes Gandi Sulistyanto dalam acara Indonesia-Korea Morning Talk: Celebrating 50 Years of Friendship di Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (26/1/2023). 

"Pada kenyataannya, saya menghadapi banyak masalah pernikahan di Korea saat ini. Ketika mereka menikah, setelah mereka punya anak, dan setelah beberapa tahun, mereka cerai. Dan kemudian masalahnya datang ke kantor saya," lanjut Dubes Sulis.

Lebih lanjut, Dubes Sulis berkata pernikahan Maudy Ayunda hanya puncak gunung es, sebab realita bagi orang-orang pada umumnya ternyata berbeda.

Sebagai catatan, masalah patriarki merupakan isu panas di Korea Selatan. Isu ini juga diungkap di novel populer Kim Ji-young: Born 1982. Namun, seleb perempuan yang membeli novel itu malah di-bully oleh netizen Korea, seperti yang dialami Irene Red Velvet.

Pemanah Korea Selatan, An San, juga diserang netizen karena gaya rambutnya yang pendek karena dianggap feminis.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Angka Perceraian di Indonesia Terus Naik

Pada September 2022, Liputan6.com pernah menulis laporan khusus terkait semakin maraknya perceraian di Indonesia. Perceraian kini tak hanya ramai dialami seleb, melainkan masyarakat umum. 

Berikut laporannya: 

Angka Perceraian di Indonesia Terus Naik, Lembaga Perkawinan Tidak Lagi Sakral?

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Rhesty, dirinya akan akan bolak-balik ke Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk mengurus proses perceraian orang tuanya. Setelah menikah selama 32 tahun, orang tuanya bersepakat untuk berpisah.

Tanpa bekal pengalaman sebelumnya, dia rela izin kerja setengah hari dari tempatnya bekerja untuk mencari informasi persyaratan pengajuan gugatan cerai. Setelah informasi didapatkan, keesokan harinya Rhesty mulai memasukkan pendaftaran.

Dia memilih datang pagi untuk mengindari antrean panjang. Benar saja, sesampainya di lokasi sekitar pukul 05.30 WIB, Rhesty menjadi orang ke-10 yang datang untuk melakukan pendaftaran pada 1 Juli 2022.

"Jadi memang dari pukul 07.00-an WIB buka satpamnya antrean untuk daftar itu sudah habis. Memang satu hari itu satu proses. (datang pertama daftar) Itu bayar materai dan lain-lain," kata Rhesty kepada Liputan6.com.

Usai melakukan pendaftaran, kata Rhesty nantinya pihak penggugat akan mendapatkan jadwal sidang perdana. Sidang perdana perceraian orang tuanya pun dijadwalkan pada 22 Juli 2022. Menurut dia, jarak 21 hari yang diterima keluarganya termasuk lebih cepat. Sebab ada beberapa orang yang harus menunggu hingga satu bulan untuk penentuan jadwal.

Akhirnya tiga kali persidangan pun dilalui oleh orang tua Rhesty. Jadwal setiap persidangan dilakukan dalam jarak satu pekan. Sedangkan untuk akte cerai, kata dia dapat diterima setelah sebulan sidang terakhir.

"Putusan hakim 5 Agustus dan bisa ambil akta cerai sebulan kemudian. Bisa dihubungi pihak sana atau via SMS. Jadi nyokap terima akte cerai itu tanggal 6 September," ujar dia.

3 dari 4 halaman

Proses Perceraian

Proses perceraian juga sempat dirasakan oleh, Amanda bukan nama sebenarnya. Dia mengugat suaminya sekitar dua bulan lalu di Pengadilan Agama Indramayu. Gugatan yang dilayangkan ke suaminya bukanlah masalah ekonomi ataupun adanya pihak ketiga.

Amanda bersama suaminya sudah menjalani sebagai sepasang suami istri selama tiga tahun. Namun karena alasan ketidakcocokan menjadi alasan utama perceraian tersebut dilakukan.

"Permasalahannya bisa dibilang kecil bukan masalah ekonomi, wanita lain maupun masalah orang ketiga tetapi mungkin masalah ketidakcocokan atau ketidaknyamanan lagi," kata Amanda kepada Liputan6.com.

Proses pengadilan berjalan kurang lebih dua bulan, mulai dari pendaftaraan hingga proses sidang hingga mediasi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.

Sedangkan, berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama terdapat sejumlah penyebab dari perceraian. Yakni faktor perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu, KDRT, mabuk, murtad, dihukum penjara, judi, poligami, zina, kawin paksa, cacat badan, madat, dan lainnya.

4 dari 4 halaman

Tantangan Itu Muncul

Perceraian merupakan hal yang tidak diinginkan atau diantisipasi pasangan suami istri setelah menikah. Apalagi jika mengingat bahwa perkawinan itu sebenarnya adalah hal sakral.

Pernikahan atau perkawinan adalah hal yang didambakan semua insan demi mencapai kebahagiaan dengan membentuk sebuah rumah tangga. Namun, seringkali perceraian menjadi jawaban terakhir ketika tak ada lagi kecocokan ataupun keharmonisan dalam sebuah rumah tangga. Mungkinkah lembaga perkawinan tidak lagi dipandang sakral?

Alasan gugatan perceraian di masyarakat pun beragam. Psikolog dewasa, Nirmala Ika menilai berdasarkan data yang ada penyebab perceraian tertinggi disebabkan oleh perselisihan atau ketidakcocokan kemudian diikuti oleh Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) lalu masalah finansial.

Menurut dia, ketidakcocokan berdasarkan kacamata psikologi merupakan hal yang lumrah terjadi pada pasangan suami istri. Sebab keduanya tumbuh dari keluarga, budaya yang berbeda dan beranekaragam.

"Jika kita bicara pernikahan ini adalah suatu hal yang harus diupayakan atau diusahakan, tidak cuman hanya menggunakan modal cinta saja dan sama-sama ingin bahagia saja. Kita tahu semua orang menikah pasti ujungnya memang ingin sama-sama bahagia tapi kemungkinan tantangan itu muncul bukan menjelang pernikahan tapi setelah kita ijab kabul atau akad nikah sejujurnya itu tantangan sesungguhnya," kata Nirmala kepada Liputan6.com.

Sebab setelah prosesi pernikahan setiap pasangan akan menjadi dirinya sendiri dan mulailah muncul perbedaan-perbedaan yang terlihat. Mulai dari kebiasaan, nilai-nilai keluarga yang dianut, hingga masalah pengasuhan.

Karena itulah ketika permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan munculah perpisahan. Selain itu Nirmala menyatakan jika saat ini proses perceraian lebih mudah dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

"Sekarang perceraian juga bukan sebuah hal yang aib atau harus ditutupi. Kemudian ditambah dengan sekarang istri dan suami punya akses kemana-mana beda dengan dulu dimana istri harus manut sama suami sehingga mereka lebih memilih perceraian dibanding untuk bertahan dihubungan yang tidak bahagia," ucapnya.

Nirmala juga memberikan sejumlah tips mengantisipasi perceraian dalam pernikahan. Dia meminta setiap suami atau istri harus paham akan dirinya sendiri sebelum mengenali pasangannya.

Mengenali diri sendiri menurut dia yaitu mengetahui atau mengenali luka, trauma, ataupun pola-pola yang ada terjadi selama tumbuh kembang. Sebab karakter dan masa lalu pasangan akan berbeda dengan yang orang lain alami.

Karena hal itu, Nirmala meminta setiap pasangan dapat terbuka dan mengkomunikasikan keadaan tersebut. "Komunikasi ini hal yang penting dalam berkeluarga. Kita jangan pakai asumsi yang ada di pikiran kita karena bisa saja apa yang kita asumsikan berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya," ujar dia.

Kemudian setiap pasangan perlu untuk belajar menajemen konflik. Setiap konflik terjadi kata dia, mengarahkan pada pertikaian dan diskusi yang sehat. Saat terjadi konflik kata Nirmala, setiap pasangan harus merefleksikan diri sendiri terlebih dahulu.

Di mana setiap individu mengetahui dan paham mengenai permasalahan yang dihadapi. Yaitu permasalahan dalam komunikasi atau akibat ekspektasi yang berbeda. Karena setiap individu yaitu suami dan istri memiliki latar belakang yang berbeda.

"Kemudian mau enggak mau ya kita harus mau berubah atau salah satu dari kita harus mau berubah untuk bisa mengupayakan mempertahankan pernikahan. Tapi perubahan itu harus karena usaha dan kemauan diri kita sendiri bukan karena suatu paksaan. Jadi bisa dikatakan pernikahan ini adalah suatu sistem dimana suatu perubahan akan memberikan efek ke semua seperti pasangan kita, diri kita, dan anak kita juga," paparnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.