Sukses

Saat India Larang Jatuh Cinta Lewat Undang-Undang

"Kejahatan saya adalah saya jatuh cinta. Kami ingin menikah suatu hari nanti."

Liputan6.com, Chennai - Undang-Undang di India ini jadi sorotan dan menuai kontroversi. Keberadaannya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelecehan anak, namun menyebabkan seorang laki-laki muda dipenjarakan.

Menurut Aktivis India, diperlukan pendekatan lebih terkait hal ini.

Alkisah 2 tahun lalu, Mani (nama samaran) yang saat itu berusia 21 tahun mulai berpacaran dengan Noor (nama samaran) yang saat itu berusia 17 tahun.

Mereka tidak dapat bertemu selama kuncitara COVID-19, tetapi akhirnya berhasil bertemu kembali saat pembatasan mulai mereda.

Mereka berjanji akan bertemu di tepi sebuah gang sepi di kota kecil di kota Tamil Nadu. Pasangan ini berharap untuk menikah suatu hari nanti. Namun, Noor diketahui hamil. Hidup mereka pun berubah menjadi mimpi buruk.

2 bulan lalu, Mani didakwa melakukan pemerkosaan dengan Undang-Undang Perlindugnan Anak dari Pelanggaran seksual atau Protection of Children from Sexual Offences (Pocso). 48 hari setelah di penjara, ia dibebaskan dengan jaminan. Jika terbukti bersalah, Mani terancam hukuman penjara seumur hidup.

"Aku hanya ingin ini segera berakhir," kata Mani dengan gugup, matanya merah akibar kurang tidur.

Dilansir dari laman The Guardian, Rabu (25/8/2021), UU Pocso diperkenalkan di India pada 2012 dengan tujuan menyelesaikan masalah soal meningkatnya pelecehan seksual terhadap anak. Menurut UU tersebut, segala aktivitas yang melibatkan anak di bawah 18 tahun adalah ilegal, meskipun disertai konsen dari kedua belah pihak.

Menurut para aktivis hak anak, UU tersebut lebih bersifat menghukum, dan bukan merupakan tujuan hukum.

Aktivis saat ini menggaungkan agar UU tersebut diklarifikasi guna mendapatkan pemahaman yang lebih beragam tentang seksualitas anak muda.

"Sebut saja romansa remaja, kegilaan, eksplorasi seksual atau cinta, itu ilegal di India," ujar Andrew Sesuraj, aktivis hak anak dan penyelenggara Tamil Nadu Child Rights Watch.

Data dari Satyarthi.org.in menunjukkan bahwa 47,335 kasus terdaftar pada 2019 di bawah hukum. Tingkat hukuman pada tahun yang sama mencapai 34.9%.

Angka tahun 2020 belum dipublikasikan, tetapi mellihat pelaporan di media menunjukan adanya peningkatan kasus yang diajukan berdasarkan UU Pocso. Para aktivis pun buka suara bahwa lockdown selama pandemi COVID-19 membuat anak muda harus menghadapi pengawasan yang lebih ketat dan memaksa mereka untuk tinggal di rumah bersama keluarga.

Meskipun tidak ada data tentang usia mereka yang didakwa dibawah UU tersebut, para aktivis percaya banyak dari yang terdakwa adalah laki-laki muda atau laki-laki remaja yang terlibat dalam hubungan konsensual antara pasangan mereka.

Anak perempuan biasanya dianggap sebagai korban, sehingga jarang dijerat hukum. Mereka sering dianggap tak mampu memberikan konsen.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyalahgunaan UU dan Nasib Mani

Para aktivis mengaku UU Pocso sering disalahgunakan oleh polisi dan keluarga untuk menghukum anak muda yang hubungannya tidak mereka restui.

"Banyak kasus diajukan karena pasangan tersebut beda kasta, kelas, atau kepercayaan," kata Sesuraj.

Swagata Raha, dari Enfold Proactive Health Trust, sebuah organisasi nirlaba berbasis di Bengaluru yang bekerja di ranah hak anak mengatakan bahwa ada banyak stigma seputar seks sebelum menikah dan orang-orang menganggap ini sebagai masalah moral. Keperawanan dan kesucian seorang perempuan penting bagi kehormatan sebagian besar keluarga dan masyarakat India.

Namun, mengkriminalisasi hubungan yang didasarkan konsen antar anak-anak muda dapat berdampak buruk pada kehidupan kaun muda, yang sering tidak melek hukum.

Kasus dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk diadili; lebih dari 90% kasus Pocso mengantre untuk diadili. Akhirnya, pendidikan terganggu, karir terancam, dan kaum muda distigmasi seumur hidup, terlepas dari apakah mereka dihukum atau tidak, jelas Raha.

Beberapa remaja dikirim ke rumah pemasyarakatan anak sampai kasus mereka dibawa ke pengadilan.

Mani telah menghadapi makian verbal dan telah dilabeli di masyarakatnya.

3 dari 3 halaman

Ketidakadilan untuk Tersangka

UU Pocso juga membuat kaum perempuan yang aktif secara seksual sulit untuk mencari bantuan medis jika terjadi kehamilan atau penyakit seks menular. Hal ini terjadi karena dokter wajib memberi tahu polisi mengenai semua kehamilan remaja.

"Sebagian besar kasus membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk sampai ke persidangan. Tak jarang banyak pasangan (yang dituduh melakukan hubungan seks di bawah umur) bahkan telah menikah dan memiliki anak sebelum itu," kata Raha.

"Apa yang sebenarnya kita lakukan atas nama melindungi anak itu?" tambahnya.

Seruan kampanye untuk mengklarifikasi UU Pocso dikukuhkan pada bulan Januari oleh seorang hakim pengadilan tinggi Chennai, Hakim N Anand Venkatesh. Hakim mengatakan bahwa menghukum seorang remaja laki-laki yang menjalin hubungan dengan seorang perempuan di bawah umur dengan memperlakukannya (laki-laki) sebagai yang bersalah tidak pernah menajdi tujuan UU Pocso.

Vithya Shankar, seorang advokat hak yang telah menangani kasus Pocso, mengamati bahwa pengadilan yang lebih rendah dipengaruhi oleh suasana hati publik, sentimen, dan liputan pers dari kasus tersebut. Pengadilan tinggi menginstruksikan pada hakim distrik untuk menyatakan orang bersalah sebanyak mungkin.

"Sering kali berakhir dengan ketidakadilan bagi terdakwa," ujarnya.

Dalam kasus Noor dan Mani, sang perempuan berencana untuk menjaga bayi mereka, tetapi nasib Mani ada di tangan hakim.

"Saya telah menyebabkan terlalu banyak masalah bagi keluarga saya," kata Mani, matanya berkaca-kaca. "Kejahatan saya adalah saya jatuh cinta. Kami ingin menikah suatu hari nanti."

(Nama tokoh dalam artikel ini disamarkan)

 

Reporter: Ielyfia Prasetio

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.