Sukses

Ini Alasan AS Keluarkan Indonesia dari Daftar Negara Berkembang

Menurut AS, Indonesia sudah tidak masuk dalam kategori negara berkembang. Ini penjelasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia disebut sudah tidak termasuk negara berkembang. Keputusan itu bukan dari Bank Dunia, melainkan versi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR).

Keputusan itu selaras dengan keluhan Presiden Donald Trump yang sering kesal karena banyak negara mengaku masih berkembang, sehingga dapat untung dari aturan dagang AS. Misal, terkait aturan minimum subsidi produk ekspor.

Tak hanya Indonesia, negeri jiran Malaysia, Thailand, India dan Vietnam juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Dan ternyata, negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan China turut menyandang status itu.

Asal muasal mengapa negara tersebut di atas keluar dari deretan negara berkembang versi AS adalah aturan baru dari USTR.

Berdasarkan rilis resmi USTR, Sabtu (22/2/2020), ada tiga aturan mengapa sebuah negara tak lagi masuk kategori berkembang dan tak berhak mendapat perlakuan spesial dari AS. Pertama, pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu. Kedua, share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional.

Pendapatan nasional per kapita Indonesia baru USD 3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk kategori kedua dan ketiga.

Menurut data The Global Economy, share ekspor Indonesia tercatat sudah mencapai 0,91 persen per 2017. Selain itu, Indonesia merupakan anggota G20.

"Perwakilan Dagang AS mempertimbangkan bahwa negara dengan share 0,5 persen atau lebih di dalam perdagangan dunia merupakan negara maju," jelas USTR. "Keanggotaan G20 mengindikasikan bahwa sebuah negara itu maju," lanjut USTR.

Dua faktor itu pun menyebabkan Indonesia dan sejumlah negara lain tak berhak lagi mendapat perlakuan khusus.

Tentunya, "kenaikan" status ini tidak otomatis menjadi pertanda bagus. Pasalnya, para eksportir Indonesia menjadi terdampak negatif karena kehilangan insentif dagang.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Respons Pengusaha

Menanggapi langkah AS, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan AS ini tentu akan berdampak bagi Indonesia, khususnya dalam hal perdagangan antara Indonesia dengan Negara Paman Sam tersebut.

"Kalau benar ini terjadi akan berpotensi berdampak pada, pertama, manfaat insentif Generalized System of Preferences (GSP) AS untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai LDC's dan negara berkembang," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi eligible sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia," lanjut dia.

Dampak selanjutnya, kata Shinta, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dalam kegiatan perdagangan dengan AS. Hal ini tentu menjadi kurang menguntungkan bagi Indonesia.

"Kedua, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy and countervailing measures AS," ungkap dia.

Meski demikian, diharapkan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang AS tidak sampai mengganggu kinerja perdagangan internasional Indonesia, khususnya dengan AS.

Lebih lanjut, Shinta mencemaskan ada standar ganda dalam penetapan ini. Pasalnya, ia menilai perlakuan Indonesia sebagai negara berkembang hanya berdasarkan satu aturan ini saja. 

Cuma saja akan aneh dan karena AS jadi enggak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi enggak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan," jelas Shinta.

3 dari 3 halaman

Berkembang dan Maju

Menurut South China Morning Post, negara-negara yang terkena aturan baru itu adalah Albania, Argentina, Singapura, Brasil, Vietnam, China, Thailand, Korea Selatan, Hong Kong, India, Indonesia, dan Malaysia.

Selain itu ada Kazakhstan, Kirgizstan, Armenia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Afrika Selatan, Georgia, Kosta Rika, Ukraina, Kolombia dan Bulgaria.

Presiden Trump juga sempat "iri" karena negara seperti China dan India disebut negara berkembang.

"China dipandang sebagai negara berkembang. India dipandang sebagai negara berkembang. Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang. Sejauh yang saya tahu, kami negara berkembang juga," ujar Trump pada pertemuan Davos di Swiss bulan lalu.

Filipina masih dianggap sebagai negara berkembang. Sementara, Laos dan Myanmar juga disebut masih di bawah negara berkembang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.