Sukses

Jejak Badai Dorian di Bahama, Seperti Zona Perang hingga Bau Busuk Menyengat

Di bagian Bahama yang lumpuh ini, petugas medis AS dapat mencium lebih banyak aroma kematian daripada orang-orang yang bisa mereka temukan. Hanya butuh beberapa detik di sini untuk merasakannya.

Liputan6.com, Bahama - Lebih dari dua pekan setelah Badai Dorian menyapu bersih seluruh Bahama, East Grand Bahama atau dikenal sebagai Grand Bahama Timur masih terlihat seperti zona perang.

Jejak Badai Dorian seperti bekas pembantaian oleh begitu meluas sehingga bahkan petugas polisi pun tidak tahan melihatnya.

"Polisi mengatakan mereka tidak ingin pergi ke sana. Terlalu sulit bagi mereka untuk pergi menemui orang-orang mereka sendiri," kata Patricia Freling, seorang perawat Florida yang menjadi sukarelawan di Grand Bahama Timur seperti dikutip dari CNN, Senin (23/9/2019).

"Mereka pikir akan ada banyak jasad. Jadi kita sedang mempersiapkan segalanya."

Freling adalah bagian dari tim medis AS yang ikut dalam perjalanan bantuan ke Grand Bahama - pulau yang dulunya indah dengan 51.000 penduduk, sebelum Badai Dorian menghancurkannya.

Tim tersebut meliputi paramedis, perawat, penasihat, dan pensiunan Marinir AS. Konselor Kesehatan Mental Betsy Rosander terbiasa dengan keadaan sulit, tetapi hari ini ia mengaku berbeda.

"Saya pikir kita akan melihat beberapa hal yang sangat sulit," kata Rosander.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Orang Tak Ingin Datang

Tim medis dipimpin oleh wanita berusia 29 tahun bernama Brittany Reidy, seorang perawat yang bertekad untuk membantu para penyintas di daerah yang terdampak Badai Dorian paling parah.

"Kebanyakan orang tidak ingin datang ke sini," kata Reidy. "Tapi kami berkata, 'Bawa kami ke bagian terburuk'.

Selama perjalanan satu jam tim dari Freeport ke ujung timur Grand Bahama, petugas medis dapat mencium aroma jasad yang membusuk sebelum mereka melihatnya.

"Itu bau jasad membusuk," kata Reidy dari belakang truk pikap.

Korban tewas resmi di Bahama dilaporkan sebanyak 52 orang. Namun jumlah itu diperkirakan akan meroket, sebab 1.300 orang masih dinyatakan hilang dua pekan setelah Badai Dorian beranjak dari wilayah tersebut.

Beberapa orang mungkin terperangkap di bawah gunungan reruntuhan rumah yang hancur. Sementara lainnya mungkin tersapu oleh gelombang badai, jasad mereka baru saja muncul di darat.

"Ketakutan saya adalah jika tidak ada yang menumpuk jenazah, mereka mungkin masih ada di sana," kata Tanya Steinlage, seorang praktisi perawat pediatrik darurat.

Ini adalah perjalanan bantuan kedua Steinlage ke Bahama sejak Badai Dorian menyerang.

"Ketika saya kembali terakhir kali, saya harus membuang seragam. Aku tidak bisa memakainya lagi," jelas Steinlage.

Steinlage mengatakan jenazah yang ditemuinya kemungkinan besar telah tersapu badai karena tidak ada struktur bangunan yang masih utuh.

"Mereka perlu membawa anjing pencari jasad ke sini untuk menemukan mereka," katanya. "Saat ini, mereka hanya (dianggap) hilang."

3 dari 4 halaman

Potensi Bahaya Kesehatan Jangka Panjang

Mencapai bagian Bahama adalah prestasi yang monumental.

Jalan Raya Grand Bahama, jalur kehidupan yang menghubungkan seluruh pulau, tidak bisa dilewati di banyak tempat selama berhari-hari.

Sekarang setelah jalan raya telah dibersihkan, petugas medis dapat mencapai tempat-tempat di mana penduduk telah terjebak.

Mereka memasuki satu rumah, tetapi tidak ada seorang pun di dalam. Garis air di dinding menunjukkan jejak air laut setinggi leher manusia.

"Bau di sana hanya jejak jamur dari sisa air laut," ujar Reidy.

Jamur bukan satu-satunya risiko kesehatan jangka panjang setelah badai. Di berbagai bagian Grand Bahama Timur, bau busuk memenuhi udara. Tidak ada air yang mengalir, dan risiko infeksi merajalela.

Penuturan Korban Selamat

Seorang warga bernama Patrice Higgs selamat dari terjangan Badai Dorian di Mcleans 'Town Cay. Wanita 49 tahun itu tertimbun puing-puing.

Petugas medis memberinya perban, sabun antibakteri, dan air bersih.

Korban selamat lainnya mengatakan kepada tim bahwa dia melihat empat orang hanyut selama badai. Tetapi seperti banyak penghuni lainnya, mereka tidak dapat ditemukan.

"Ini sulit," kata Steinlage. "Kita semua pergi ke dunia kedokteran untuk membantu orang. Dan ketika tidak ada orang yang hidup untuk membantu, kita harus mendefinisikan kembali rasa kesuksesan kita."

Para petugas medis berharap banyak penghuni yang hilang dievakuasi, baik sebelum atau setelah badai. Tetapi mereka takut banyak yang mati.

Pada akhir hari pertama mereka di Grand Bahama Timur, petugas medis mengidentifikasi setidaknya 30 lokasi di mana mereka mencium bau jasad yang membusuk - bahkan ketika mereka tak melihatnya.

Helen Perry, seorang praktisi perawat dan veteran Angkatan Darat, mengatakan dia berharap tim anjing pencari jasad akan datang dan menemukan jenazah lain. Jika tidak, jasad yang membusuk dapat menyebabkan epidemi kolera.

"Kamu tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja," kata Perry.

4 dari 4 halaman

Mencoba Membangun Kembali dari Nol

Sean Russell adalah salah satu penghuni yang lebih beruntung di Grand Bahama Timur.

"Aku hidup, dan hanya itu yang penting. Tidak semua orang bisa mengatakan itu," jelas Sean Russel.

Tetapi rumah Russel hancur, seperti juga sebagian besar barang-barangnya. "Kehilangan sebesar ini benar-benar sulit."

Russell menangis tatkala mengisahkan kilas balik terjangan badai Kategori 5 yang melecut angin hingga 185 mph dan menghantam pulau selama berhari-hari.

"Tidak akan ada orang membayangkan akan ada badai seperti itu," ujar Russel sedih.

Sekarang, semua yang dimilikinya hanya ada di dalam sebuah tas.

Pada 18 September, Russell membayar US$ 49,50 untuk naik kapal yang mengevakuasi korban badai ke Florida. Ketika dia menginjak kapal, dia tidak yakin di mana dia akan tinggal di Amerika Serikat.

"Aku tidak tahu apa rencananya. Tapi aku percaya dengan imanku," katanya. "Kita mulai dari awal lagi, karena aku kehilangan segalanya."

Russell kemudian mengetahui bahwa sebuah keluarga sukarelawan di Florida bersedia menampungnya. Namun rencana jangka panjang tetap tidak pasti.

Pria yang merupakan seorang guru itu berkata bahwa dia ingin sekali membangun kembali di Grand Bahama Timur. Dia bahkan sudah membeli tiket lain untuk kembali dengan kapal pada 1 Oktober. Tapi dia tahu itu tidak mungkin. Dia tidak punya pekerjaan untuk kembali, dan gedung tempat dia bekerja sudah hancur.

"Setelah ini, saya benar-benar tidak berpikir Bahama akan sama," katanya. "Itu tidak akan sama lagi."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.