Sukses

Bukti Dukungan, PM Pakistan Siap Kunjungi Kashmir di Hari Kemerdekaan

Sebagai bentuk dukungan, PM Pakistan Imran Khan akan mengunjungi Kashmir dalam momentum Hari Kemerdekaan negaranya.

Liputan6.com, Kashmir - Perdana Menteri Pakistan Imran Khan akan mengunjungi Kashmir dalam momentum Hari Kemerdekaan negaranya. Hal itu dilakukan untuk menegaskan kembali dukungannya kepada masyarakat Kashmir yang sebagian tinggal di wilayah kedaulatan India.

Pakistan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72 pada Rabu, 14 Agustus 2019. Tepat seminggu setelah keputusan India mencabut otonomi khusus Kashmir.

Kota yang akan menjadi tujuan Imran Khan adalah Muzzaffarad, ibu kota Kashmir yang dikelola Pakistan, seperti dilansir dari Al Jazeera, Rabu (14/8/2019). Ia diperkirakan akan berpidato di Majelis Legislatif untuk mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan India di Kashmir. 

Saat berpidato pada upacara pengibaran bendera di ibukota, Islamabad, Presiden Pakistan Arif Alvi mengatakan, negaranya akan selalu mendukung Kashmir, lapor media lokal Dawn.

"Kami tidak akan membiarkan mereka sendirian di langkah apa pun," kata Alvi. "Orang-orang Kashmir adalah kita. Kita menganggap rasa sakit mereka sebagai rasa saki kita sendiri."

Hingga saat ini, tengah terjadi pembatasan komunikasi dan kebebasan bergerak di Kashmir yang dikelola India. Gubernur wilayah itu mengatakan, pembatasan akan mereda pada Kamis, 15 Agustus 2019 setelah Hari Kemerdekaan India. Meski demikian, saluran telepon dan internet akan tetap terputus.

Semua itu terjadi setelah pemerintah India telah mencabut otonomi khusus Kashmir yang dikelola India dalam konstitusinya.

Keputusan presiden yang dikeluarkan pada 5 Agustus mencabut Pasal 370 konstitusi India yang menjamin hak-hak khusus bagi negara mayoritas muslim, termasuk hak untuk konstitusi dan otonomi sendiri untuk membuat undang-undang tentang semua hal, kecuali pertahanan, komunikasi dan urusan luar negeri.

Langkah ini telah memperburuk ketegangan yang sudah meningkat dengan negara tetangga Pakistan. Baik India dan Pakistan mengklaim Kashmir secara penuh tetapi sebagian berkuasa. Tetangga-tetangga bersenjata nuklir telah bertempur dua dari tiga perang mereka di wilayah yang disengketakan itu. Pemberontakan di Kashmir yang dikelola India telah berlangsung selama tiga dekade.

Simak pula video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pakistan Minta DK PBB Segera Gelar Rapat

Pemerintah Pakistan juga telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk melakukan pertemuan yang membahas keputusan India dalam mencabut otonomi khusus Kashmir dan Jammu.

Permintaan itu disampaikan secara tertulis oleh Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Qureshi kepada DK yang diketahui oleh kantor berita Reuters.

"Pakistan tidak akan memprovokasi konflik. Tetapi India seharusnya tidak salah mengira diamnya kami sebagai kelemahan," kata Qureshi.

Dalam surat yang sama, Menlu Pakistan mengatakan akan memberikan tanggapan jika India menggunakan lagi kekuatannya. Hal itu ia sebut sebagai "pembelaan diri" yang akan mencurahkan "semua kemampuannya," lapor Al Jazeera.

Hingga saat ini masih belum jelas bagaimana DK PBB yang beranggotakan 15 orang akan menanggapi permintaan Pakistan.

Namun tanggapan telah datang dari Polandia yang memegang kursi kepresidenan DK PBB selama Agustus.

Menteri Luar Negeri Polandia Jacek Czaputowicz mengatakan kepada wartawan di PBB, DK telah menerima surat dari Pakistan dan "akan membahas masalah itu dan mengambil keputusan yang tepat".

 

3 dari 3 halaman

Amnesty International Gulirkan Kecaman

Sementara itu, Amnesty International di India telah mengutuk keputusan Mahkamah Agung di New Delho yang mengizinkan negara itu melanjutkan tindakan keras keamanan dan pemadaman komunikasi di Kashmir.

Dalam siaran pers, organisasi HAM itu mengatakan penolakan pengadilan untuk mencabut pembatasan di Kashmir adalah "pukulan bagi rakyat Jammu dan Kashmir".

Amnesty juga menyatakan keprihatinan mendalam atas hak kebebasan bergerak dan berekspresi yang dimiliki oleh rakyat. Hal itu dibuktikan dengan adanya penahanan para pemimpin dan aktivis politik, serta "gangguan pers untuk secara bebas melaporkan perkembangan terkini dan bertindak sebagai jembatan untuk suara-suara dari daerah".

Amnesty memperingatkan bahwa "tindakan keras terhadap kebebasan sipil hanya akan meningkatkan ketegangan, mengasingkan rakyat dan meningkatkan risiko pelanggaran HAM lebih lanjut".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.