Sukses

Pertama dalam Sejarah, Foto Alam Semesta Paling Rinci Diekspos ke Publik

Teleskop angkasa luar Hubble baru saja merilis gambar paling rinci dari Alam Semesta.

Liputan6.com, Jakarta - Tim astronom gabungan dari NASA, ESA, University of California (Santa Cruz), University of Connecticut, Leiden University, University of Geneva dan Hubble Legacy Field berhasil menciptakan foto baru Alam Semesta.

Gambar baru tersebut, yang dirilis pada 2 Mei, dikenal sebagai "Hubble Legacy Field". Potret itu mewakili pandangan paling komprehensif tentang Jagat Raya hingga saat ini, menyatukan lebih dari 7.500 pengamatan Teleskop Angkasa Luar Hubble yang diambil selama 16 tahun.

Gambar komposit akhir ini berisi sekitar 265.000 galaksi. Banyak di antaranya berada di jarak yang sangat jauh dari Bumi, sehingga cahaya mereka membutuhkan miliaran tahun untuk mencapai pandangan Hubble.

"Foto yang satu ini berisi sejarah penuh dari pertumbuhan galaksi di Alam Semesta, dari masa ketika masih 'bayi' hingga tumbuh menjadi dewasa," kata Garth Illingworth, seorang astronom di University of California, yang dikutip dari Live Science, Selasa (7/5/2019).

Proyek untuk membuat gambar Alam Semesta dimulai pada tahun 1995, ketika tim astronom tersebut memutuskan untuk memusatkan perhatian Hubble pada secarik ruang yang tampak gelap pekat, selama 10 hari berturut-turut.

Dari kegelapan itulah, dunia muncul. Foto yang dihasilkan --sekarang disebut "Hubble Deep Field"-- mengungkapkan ribuan galaksi yang belum pernah terlihat sebelumnya di Alam Semesta.

Beberapa di antaranya bersinar dengan cahaya yang berasal dari jagat awal. Mempelajari galaksi-galaksi yang jauh seperti ini, memberikan petunjuk kepada para ilmuwan tentang bentuk kosmos ketika cahaya-cahaya itu pertama kali berkedip, pada miliaran tahun yang lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harapan Baru

Teleskop Hubble telah melakukan pengamatan selama puluhan ribu jam, sepanjang hari, setiap hari, selama hampir tiga dekade.

Para peneliti yang terlibat dengan riset Hubble berharap bahwa mosaik baru dari galaksi alien ini akan menginspirasi astronom lain untuk mengungkap rahasia yang tersimpan di dalamnya, termasuk asal-usul galaksi "Train Wrecks" --bintang yang dihasilkan ketika dua galaksi muda atau lebih bertabrakan satu sama lain.

Suatu saat di pertengahan tahun 2020-an, NASA berharap untuk meluncurkan pengamatan baru di langit, yang disebut Wide Field Infrared Survey Telescope (WFIRST).

Jika semua berjalan sesuai rencana, setiap foto yang diambil oleh WFIRST akan menangkap 100 kali tampilan gambar Hubble yang khas dan memperlihatkan puluhan juta galaksi.

3 dari 3 halaman

Ditemukan Molekul Pertama yang Terbentuk di Alam Semesta Usai Big Bang

Setelah berpuluh-puluh tahun mencari di angkasa luar, para ilmuwan kini mengklaim telah mendeteksi ikatan molekul pertama yang terbentuk di awal Alam Semesta, usai Dentuman Besar atau Big Bang.

Penemuan ion helium hidrida (HeH+) di nebula NGC 7027 mengakhiri perburuan epik para astronom untuk menemukan molekul yang sulit dipahami di antariksa.

"Kurangnya bukti tentang keberadaan helium hidrida di Alam Semesta telah mempertanyakan pemahaman kami tentang kimia di awal terbentukna Jagat Raya," kata ahli astronomi Rolf Gusten.

"Pendeteksian yang dilaporkan sekarang, sudah menyelesaikan keraguan semacam itu," lanjutnya.

Begitu awal Alam Semesta mendingin usai Big Bang pada hampir 14 miliar tahun yang lalu, teori menyatakan bahwa ion-ion unsur cahaya mulai bergabung kembali satu sama lain.

"Dalam lingkungan yang bebas logam dan kepadatan rendah ini, atom-atom helium netral membentuk ikatan molekul pertama Alam Semesta dalam ion helium hidrida (HeH+), melalui hubungan radiatif dengan proton," Gusten dan rekan peneliti menjelaskan dalam sebuah makalah baru.

Cara Mendeteksi

Para ilmuwan memperkirakan HeH+ mungkin terbentuk di nebula pada tahun 1970-an, tetapi sampai sekarang mereka masih belum pernah bisa mendeteksinya.

Menurut para peneliti, hal itu disebabkan karena atmosfer Bumi pada dasarnya adalah penghalang untuk spektrometer (instrumen untuk menentukan panjang gelombang pelbagai macam sinar) yang berbasis di daratan.

Tim dari Gusten mampu mengatasi hambatan-hambatan ini secara serempak, berkat kemampuan German Receiver for Astronomy at Terahertz Frequencies (GREAT) ketika diterbangkan oleh pesawat antariksa Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy (SOFIA) milik NASA.

Menurut Gusten, GREAT adalah satu-satunya perangkat yang dapat melakukan pengamatan semacam ini dan hanya mampu melihat helium hidrida di angkasa luar jika dilepaskan terlebih dahulu di udara.

"Seseorang atau sesuatu tidak dapat melakukan pencarian sejenis ini dari observatorium berbasis darat, karena pada panjang gelombang 149 μm, atmosfer Bumi benar-benar buram," papar Güsten.

"Jadi, kami harus pergi ke antariksa atau mengoperasikan instrumen kami dari platform dengan terbang di ketinggian tertentu, seperti SOFIA yang melayang di atas atmosfer yang lebih rendah," lanjutnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini