Sukses

Warga Selandia Baru Ramai-ramai Serahkan Senjata Api ke Aparat

Warga Selandia Baru, pada awal pekan ini, mulai menyerahkan senjata pribadi mereka sebagai tanggapan atas teror penembakan di masjid Christchurch.

Liputan6.com, Christchurch - Warga Selandia Baru, pada awal pekan ini, mulai menyerahkan senjata pribadi mereka sebagai tanggapan atas teror penembakan di masjid Christchurch.

Kepolisian lokal mengafirmasi, namun mengatakan mereka tidak memiliki data yang tersedia tentang jumlah senjata yang diserahkan sejak Jumat 15 Maret 2019 --tepat pada hari teror penembakan di dua masjid Christchurch, Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre.

Namun, dengan banyaknya orang yang mencoba untuk menyerahkan senjata pribadi mereka kepada pihak berwenang, kepolisian lokal mengunggah twit, "karena keamanan yang meningkat dan kondisi lingkungan saat ini, kami akan meminta agar orang-orang menotifikasi kami terlebih dahulu sebelum mencoba menyerahkan senjata api," demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (19/3/2019).

Kendati demikian, gerakan mulia itu telah menempatkan beberapa orang yang melakukannya menjadi sasaran komentar negatif di media sosial dari pendukung pelonggaran regulasi senjata api. Beberapa penyuara komentar berasal dari asosiasi senjata api Amerika Serikat.

John Hart, seorang petani di Distrik North Island, Masterton, memutuskan untuk memberikan senapan semi-otomatisnya kepada polisi setelah Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengumumkan pada Senin 18 Maret 2019 berencana untuk memperketat undang-undang senjata sehubungan dengan pembantaian Christchurch yang menewaskan 50 orang.

Ardern juga mendorong pemilik untuk menyerahkan senjata api yang tidak perlu setelah diketahui bahwa pelaku teror Christchurch, "supremasi kulit putih" warga negara Australia, Brenton Tarrant, secara legal memperoleh senjata yang digunakannya dalam aksi tersebut.

Hart mengatakan itu adalah keputusan mudah untuk menyerahkan senjata semi-otomatis miliknya. Ia mengunggah twit dengan mengatakan bahwa "di pertanian mereka adalah alat yang berguna dalam beberapa keadaan, tetapi kenyamanan saya tidak lebih penting daripada risiko penyalahgunaan. Kami tidak membutuhkan ini di negara kita."

Twit itu menarik rentetan pesan menghina ke akun Facebook Hart - paling jelas dari AS, di mana pelobi pro-senjata api sangat kuat dan gencar.

Hart menghapus pesan-pesan menghina itu, tetapi, beberapa ia posting secara online sebagai bukti dengan caption, "Kia ora (salam) hangat untuk semua teman Facebook Amerika saya yang baru."

"Saya tidak terbiasa dengan adat istiadat setempat, tetapi saya menganggap 'Cuck' adalah salam tradisional," kata Hart mengutip kata penghinaan yang ia terima.

'Cuck' kependekan dari 'cuckold' --yang dalam pengertian paling halus berarti 'pengecut'-- sering digunakan oleh ekstremis sayap kanan untuk menghina targetnya.

Sedangkan tanggapan 'paling halus' soal keputusan arif Hart datang dari Kaden Heaney.

Dalam kolom komentar, Haley bertanya pada Hart: "Apa gunanya menyerahkan senjata pribadi? Kamu semua menyadari apa yang terjadi pada masyarakat yang melepaskan senjata mereka? Orang jahat akan mendapatkan senjata, pisau, bom, atau apa pun yang mereka miliki. Mereka membunuh tidak peduli apa niat orang baik. Siapa yang akan melindungi Anda?"

Sementara itu, seorang "Kiwi's" --julukan demonim Selandia Baru-- lainnya yang mengklaim telah menyerahkan senjata pribadinya kepadda pihak berwenang membela gerakan tersebut.

"Ini adalah salah satu keputusan termudah yang pernah saya buat. Telah memiliki senjata api selama 31 tahun ... Setelah saya menyadari bahwa, satu-satunya cara saya bisa maju dengan hati nurani yang jelas adalah menyerahkannya ke polisi untuk dihancurkan," kata seorang pengguna media sosial di Selandia Baru dengan nama akun Blackstone.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selandia Baru Mereformasi UU Senjata Api Pekan Depan

Kabinet Perdana Menteri Jacinda Ardern memutuskan pada Senin 18 Maret, bahwa pihaknya segera merombak undang-undang kepemilikan senjata di negaranya pasca-penembakan Selandia Baru, yang menewaskan 50 orang.

Ardern mengatakan kepada wartawan di Wellington bahwa para menteri telah "memutuskan tentang reformasi undang-undang senjata" setelah tragedi penembakan Selandia Baru, di mana pengumuman perubahannya akan diusulkan sebelum Kabinet bertemu lagi, Senin pekan depan.

"Pada akhirnya, bahwa dalam 10 hari dari tindakan terorisme yang mengerikan ini, kami akan mengumumkan reformasi yang, saya percaya, akan membuat komunitas kami lebih aman," kata PM Ardern, sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Senin (18/3/2019). Baca selengkapnya...

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.