Sukses

Donald Trump Gelar Buka Puasa Bersama di Gedung Putih, Siapa yang Diundang?

Donald Trump telah menggelar buka puasa bersama di Gedung Putih pada Rabu, 7 Juni 2018 malam waktu setempat.

Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggelar buka puasa bersama di Gedung Putih pada Rabu, 7 Juni 2018 malam waktu setempat, yang turut dihadiri oleh Wakil Presiden AS Mike Pence dan Penasihat Kepresidenan Jared Kushner.

Buka bersama yang dikemas layaknya jamuan makan malam sesuai tradisi Barat itu mengundang duta besar negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia, Arab Saudi, Yordania, negara Timur Tengah, dan lainya, demikian seperti dikutip dari media politik AS The Hill, Kamis (7/6/2018).

Saat menyampaikan pidato pembuka, Donald Trump menyebut buka bersama sebagai "Tradisi sakral salah satu agama terbesar di dunia."

"Malam ini ketika kita menikmati makan malam yang luar biasa di Gedung Putih, mari kita berusaha untuk mewujudkan rahmat dan niat baik yang menandai musim Ramadan," kata Trump kepada peserta.

"Mari kita berdoa untuk perdamaian dan keadilan. Biarkan nilai-nilai ini membimbing kita saat bekerja sama untuk membangun masa depan yang cerah dan makmur, yang menghormati dan memuliakan Tuhan," lanjutnya.

Selama makan malam, Trump juga menyerukan kerja sama di Timur Tengah.

Presiden ke-45 AS itu mengatakan sangat menikmati perjalanannya tahun lalu ke Arab Saudi, dan mengatakan pemerintah telah "membuat banyak kemajuan" pada hubungan di Timur Tengah pada tahun lalu.

"Hanya dengan bekerja sama kita bisa mencapai masa depan kemakmuran dan keamanan bagi semua," kata Donald Trump.

Beberapa organisasi muslim terbesar di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka tidak diundang ke perayaan itu.

Baik Islamic Society of North America (ISNA) dan the Council on American-Islamic Relations mengatakan bahwa mereka tidak diundang.

Colin Christopher, direktur lintas agama ISNA, mengatakan kepada HuffPost bahwa dia percaya, daftar tamu dalam buka bersama Donald Trump itu difokuskan pada diplomat dari negara-negara mayoritas Muslim.

"Gedung Putih tampaknya lebih tertarik mengundang para pemimpin pemerintah asing dari negara-negara mayoritas Muslim yang korup yang menunjukkan kebijakan yang tidak adil terhadap populasi mereka sendiri, yang tampaknya sejalan dengan masa pemerintahan AS saat ini," kata Christopher dalam email ke outlet berita.

Beberapa kelompok hak-hak sipil muslim juga mengorganisir protes bertajuk "NOT Trump's Iftar" di sebuah taman di seberang Gedung Putih. Kelompok-kelompok itu mengatakan retorika panas Trump telah berkontribusi pada peningkatan perundungan dan diskriminasi terhadap muslim di AS.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Memecah Tradisi

Buka puasa bersama kemarin melanjutkan tradisi yang sempat terhenti sejak era Presiden George W Bush. Presiden ke-43 AS itu menghapus buka puasa bersama di Gedung Putih menyusul peristiwa 9/11 dan maraknya sentimen anti-Islam di AS pasca-insiden teror tersebut.

Terakhir kali Gedung Putih menggelar buka puasa bersama adalah pada masa jabatan Presiden Bill Clinton.

Meski melanjutkan kembali tradisi yang terputus, bukan berarti Trump terbebas dari berbagai kritik yang menyebutnya sebagai anti-Islam.

Trump telah menghadapi kritik di berbagai waktu sejak kampanye 2016 terkait retorikanya tentang Islam dan muslim.

Jemaah muslim pria melakukan salat sebelum berbuka puasa Ramadan di Lafayette Square, Washington DC (6/6). Acara ini juga bertepatan dengan buka puasa bersama yang diikuti Presiden AS, Donald Trump di Gedung Putih. (AFP/Mandel Ngan)

Pada masa kampanye, Trump pernah menyerukan larangan terhadap muslim memasuki negara itu sebagai respons untuk menghentikan serangan teroris di AS.

Trump juga pernah mengatakan kepada CNN bahwa "Islam membenci kita."

Pemerintahannya sejak itu telah menerbitkan beberapa versi larangan perjalanan yang membatasi warga negara dari sejumlah negara Timur Tengah mayoritas muslim untuk memasuki AS. Mahkamah Agung AS diperkirakan akan mengeluarkan keputusan segera mengenai legalitas larangan tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.