Sukses

Patroli Perbatasan Amerika Serikat Tembak Mati Perempuan Guatemala

Liputan6.com, Washington, DC - Kelompok-kelompok pembela hak imigran di seluruh Amerika Serikat, mengutuk pembunuhan seorang wanita muda Guatemala, yang ditembak oleh agen patroli perbatasan di Texas. Perempuan malang tersebut dilaporkan tidak bersenjata saat peristiwa itu terjadi.

Wanita yang diidentifikasi sebagai Claudia Patricia Gomez Gonzales berusia 20 tahun, ditembak di kepala oleh seorang anggota Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat (CBP) pada Rabu di Rio Bravo, Texas, dekat dengan perbatasan Meksiko.

Menurut media lokal, yang mengutip pernyataan keluarga Gonzales, wanita muda itu bepergian ke Amerika Serikat melalui sebuah desa kecil di Guatemala untuk mencari kerja agar dapat membiayai pendidikannya.

Kematian Gonzales telah memicu kemarahan organisasi pembela hak imigran. Mereka mengatakan bahwa di bawah Donald Trump, agen perbatasan seperti CBP dan Immigration and Customs Enforcement (ICE) beroperasi dengan impunitas dan kurangnya akuntabilitas.

"Kongres perlu menghentikan kegilaan ini. Mereka memiliki kekuatan untuk mengakhiri lembaga-lembaga ini yang menargetkan komunitas kami," ujar Cristina Jimenez, Eksekutif Direktur United We Dream, sebuah jaringan imigran yang berbasis di New York.

Detail seputar insiden di Rio Bravo yang menewaskan Gonzales disebut-sebut tidak jelas.

Pernyataan awal CBP menyebutkan bahwa pada Rabu, seorang anggotanya menanggapi "sebuah laporan aktivitas ilegal di Rio Bravo".

"Laporan awal menunjukkan bahwa ketika agen berusaha untuk menangkap kelompok itu, ia diserang oleh banyak subjek menggunakan benda tumpul," sebut CBP, seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (27/5/2018).

Lalu pada Jumat, CBP merilis pernyataan yang diperbarui, yang menyebutkan bahwa agen itu "diduga diserang". Mereka tidak menyebutkan penggunaan benda tumpul.

"Kelompok itu mengabaikan perintah verbal dan malah menyerangnya," ungkap pernyataan terbaru CBP.

Tiga pria Guatemala ditangkap dalam peristiwa tersebut.

Juru bicara CBP menolak berkomentar lebih lanjut atas kasus yang kini tengah ditangani oleh FBI dan Texas Rangers itu. Agen yang terlibat dalam insiden itu telah ditempatkan dalam cuti administratif, menurut CBP.

Menurut media lokal Guatemala, Gonzalez adalah seorang wanita pribumi Maya-Mam yang telah lulus dari program akuntansi forensik pada 2016. Keluarganya mengatakan dia pergi ke Amerika Serikat untuk mencari pekerjaan karena mereka tidak memiliki cukup uang baginya untuk melanjutkan studi.

Marta Martinez, yang melihat wanita muda itu terbaring di genangan darah di padang rumput kosong di luar rumahnya, mengatakan dia tidak mendengar teriakan konfrontasi sebelum penembakan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kebijakan Imigrasi Tidak Manusiawi

Pembunuhan Gonzales terjadi ketika Trump memperbarui seruan untuk menerapkan keamanan perbatasan yang lebih keras, termasuk melalui penambahan 5.000 agen perbatasan dan pengerahan Garda Nasional ke perbatasan.

Reformasi imigrasi telah menjadi fitur penting dalam kampanye Trump di pilpres 2016.

Tak lama setelah menjabat pada Januari tahun lalu, Trump menandatangani perintah eksekutif, yang memberi ICE dan lembaga penegak hukum lainnya kekuasaan lebih luas untuk fokus pada sebagian besar imigran tanpa dokumen, termasuk mereka yang tidak memiliki catatan kriminal.

Trump juga berulang kali merendahkan warga Meksiko dan Amerika Tengah, memberlakukan larangan terhadap warga dari sejumlah negara muslim, menghina beberapa negara Afrika, dan berjanji akan membangun tembok di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko.

Pada awal bulan ini, Trump menyebutkan bahwa sejumlah orang yang dideportasi dari Negeri Paman Sam adalah "binatang". Tak lama, ia menjelaskan, pernyataannya itu merujuk pada anggota geng MS-13.

"Pemerintahan ini mencoba untuk tidak memanusiakan dan mengkriminalisasi imigran sedemikian rupa sehingga mereka secara terbuka menyebut (imigran) hewan, dan dengan demikian retorika itu sangat berbahaya serta tidak manusiawi. Mereka ingin membenarkan tindakan deportasi massal," tutur Jimenez.

Menurut Pew Research Center, ICE menangkap lebih dari 143.000 orang pada tahun 2017 --jumlah ini naik 30 persen dari tahun 2016--.

"Sekarang, Anda melihat agen ICE menyasar keluarga, memisahkan anak-anak dari orang tua mereka," Jimenez menambahkan.

"Mereka melakukan hal-hal yang tidak mereka lakukan sebelumnya. Agen hari ini menghentikan orang-orang di jalanan, pergi ke tempat-tempat ibadah dan sekolah, Anda dapat melihat mereka di mana-mana sekarang."

Menggemakan sentimen Jimenez, the Southern Border Community Coalition merilis sebuah pernyataan, menyerukan akuntabilitas dari pengelola perbatasan.

"Sudah terlalu lama, agen Patroli Perbatasan telah meneror komunitas kami, meninggalkan jejak kematian dan pelecehan tanpa akuntabilitas yang berarti," kata kelompok itu.

Karina Alvarez, pendiri Laredo Immigrant Alliance, mengatakan retorika Trump terhadap para imigran telah membuat tampil berani di kota-kota perbatasan.

"Dia menggambarkan kita hari itu sebagai hewan dan lihat sekarang, mereka menembak kita seperti binatang," kata Alvarez.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.