Sukses

3 Masalah yang Masih Dihadapi Penyandang Disabilitas di Jawa Timur, Termasuk Kekurangan SLB

Penyandang disabilitas di Jawa Timur masih menghadapi berbagai masalah termasuk yang terkait dengan kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas di berbagai daerah masih menghadapi berbagai tantangan, tak terkecuali di Jawa Timur.

Menurut Divisi Penyadaran dan Pengembangan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Disabilitas Indonesia (LBHDI) Ken Kertaning Tyas, masalah-masalah itu di antaranya:

Kurangnya Jumlah SLB

Menurut Ken, jumlah sekolah luar biasa (SLB) masih kurang dan masih didominasi oleh SLB Swasta. Khususnya di Kabupaten Malang, dari 33 kecamatan hanya terdapat sekitar 13 SLB dan hanya satu saja yang SLB Negeri.

“Artinya, selain jumlah tersebut belum sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas, juga nampak hak pendidikan justru diperhatikan oleh masyarakat sendiri melalui yayasan-yayasan pendidikan yang dibentuk,” kata Ken melalui keterangan tertulis kepada Disabilitas Liputan6.com, Selasa (31/10/2023).

Kesehatan Jiwa Terabaikan

Pria yang menjabat sebagai Site Manager Justice for Disability (JFD) Jawa Timur ini juga mencatat tentang persoalan kesehatan jiwa yang terabaikan.

Contoh pengabaian terhadap kasus kesehatan jiwa yakni:

  • Masih ada pembiaran terhadap pemasungan.
  • Penelantaran orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
  • Kekerasan seksual.
  • Masalah sulitnya obat.
  • Sikap tenaga kesehatan yang diskriminatif.

“Persoalan obat juga dialami oleh pasien kusta, belakangan stok obat kusta MDT masih kerap kosong.”

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kesulitan Mendapat Terapi

Masalah selanjutnya yang masih dialami penyandang disabilitas di Jawa Timur adalah belum terpenuhinya hak kebutuhan dasar kesehatan penyandang disabilitas yaitu terapi.

Hal ini disampaikan oleh Kader Posyandu Disabilitas Indonesia di Malang, Widi.

Selama ini, terapi hanya bisa diakses ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat III sehingga menyulitkan penyandang disabilitas.

Menurutnya, hak kesehatan dasar harus sudah terpenuhi di faskes I. Widi juga mengusulkan agar perangkat desa, petugas keagamaan dan tenaga kesehatan memiliki keterampilan bahasa isyarat.

3 dari 4 halaman

Poin-Poin Permasalahan Lainnya

Ketiga masalah di atas belum mewakili keseluruhan masalah yang ada. Poin-poin masalah lain yang masih dihadapi penyandang disabilitas di Jawa Timur adalah:

  • Pendidikan inklusif.
  • SIM bagi Tuli.
  • Kusta dan HIV.
  • Bahasa isyarat.
  • Literasi braille.
  • Alat bantu disabilitas.
  • Pengurangan resiko bencana.
  • Toilet ramah disabilitas serta persoalan lainnya.

Rincian persoalan ini dibahas dalam uji publik rancangan peraturan daerah atau Raperda Disabilitas di Jawa Timur pada 28 Oktober 2023.

Uji publik ini diikuti oleh sekitar 143 penyandang disabilitas dan jaringannya. Raperda dimaksudkan untuk menggantikan Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 Tahun 2013 yang dinilai sudah tak relevan.

“Dari hasil beberapa pertemuan dan kajian, kesimpulannya adalah Perda Disabilitas Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 sudah tidak relevan dan harus diganti,” kata Plt. Direktur LBH Disabilitas Indonesia (LBHDI), Ajeng Linda Liswandari, dalam acara tersebut.

Untuk itu, lanjut Ajeng, uji publik daring ini digelar dengan melibatkan jaringan penyandang disabilitas se-Jawa Timur. Tujuannya agar adanya Raperda benar-benar mengakomodasi persoalan, praktik baik dan usulan penyandang disabilitas.

4 dari 4 halaman

Kesehatan Khusus Disabilitas Penting Dimasukkan dalam Raperda

Hal ini diaminkan oleh Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum LBHDI Tri Eva Oktaviani.

“Perda Disabilitas Jatim tahun 2023 masih mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,” ujar Eva.

Eva menjelaskan, Keberadaan penyandang disabilitas dalam undang-undang tersebut masih sebagai objek hukum. Sedangkan, dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas telah diakui sebagai subjek hukum yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai warga negara yang setara dengan warga lainnya.

Menanggapi hal ini, Dosen UPN Veteran Abdullah Fikri memberikan masukan bahwa dalam Raperda Disabilitas penting untuk diatur tentang hak kesehatan khusus bagi penyandang disabilitas.

Fikri juga mengatakan perlunya lembaga independen misalnya Komisi Disabilitas Daerah sebagai mekanisme pemantauan upaya penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.