Sukses

Disabilitas dalam Berita, Representasi Tak Tepat Bisa Timbulkan Stigma

Bahasa yang digunakan dalam media memiliki pengaruh signifikan terhadap persepsi masyarakat pada penyandang disabilitas.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur menyoroti tentang pemberitaan penyandang disabilitas di media dalam jaringan (daring).

Penelitian yang dipublikasi secara daring pada 13 Februari 2024 memaparkan, salah satu penentu utama yang memengaruhi sikap masyarakat terhadap penyandang disabilitas adalah informasi. Informasi yang dapat diakses oleh masyarakat umum adalah berita.

Menurut salah satu penulis penelitian, Muchamad Sholakhuddin Al Fajri, bahasa yang digunakan dalam media memiliki pengaruh signifikan terhadap persepsi masyarakat pada penyandang disabilitas. Pasalnya, media berita pada umumnya berfungsi sebagai sumber informasi utama. Media berperan sebagai platform untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah sosial dan konstruksi identitas untuk kelompok minoritas, termasuk mereka yang memiliki disabilitas.

“Dalam konteks Indonesia, representasi media terhadap penyandang disabilitas sering kali menimbulkan stigma dan stereotip negatif, yang pada gilirannya dapat memperkuat sikap diskriminatif dalam masyarakat,” kata Sholakhuddin mengutip laman Unair, Senin (29/4/2024).

Dosen Linguistik di Fakultas Vokasi Universitas Airlangga itu menambahkan, penyandang disabilitas kerap digambarkan sebagai individu yang lemah, bergantung pada orang lain, dan tidak mampu berkontribusi secara produktif kepada masyarakat. Hal ini menciptakan siklus perpetuasi (kekekalan) stigma dan diskriminasi yang sulit untuk dipecahkan.

“Penelitian terbaru kami pada berita-berita daring di media-media besar Indonesia menemukan gambaran dominan penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat dan objek, menunjukkan kecenderungan untuk memposisikan mereka sebagai penerima pasif daripada menonjolkan agensi dan partisipasi aktif mereka,” tulis Sholakhuddin.

2 dari 4 halaman

Ada Pula Representasi Positif dalam Berita

Selain itu, lanjut Sholakhuddin, individu dengan disabilitas juga secara konsisten dikaitkan dengan anak-anak, orang tua, dan wanita, yang menekankan kerentanan mereka. Representasi ini cenderung mengikuti model patologi sosial dari disabilitas.

Meski demikian, terdapat juga representasi penyandang disabilitas sebagai individu yang aktif dan dinilai positif dalam berita.

Namun, representasi tersebut cenderung mengikuti model supercrip (lebih tinggi). Penggambaran positif sesekali tentang difabel dalam cerita berita inspiratif mungkin bisa dipandang sebagai langkah menuju nilai inklusif.

“Namun, ketergantungan pada narasi supercrip tampaknya problematik karena hal ini dapat menciptakan harapan yang tidak realistis dan mengabaikan masalah sistemik yang perlu diatasi seperti aksesibilitas, diskriminasi, dan kurangnya dukungan sosial.”

3 dari 4 halaman

Terkait dengan Kebijakan yang Mengatur Difabel

Dominasi model patologi sosial dalam teks berita Indonesia mungkin terkait dengan kebijakan yang mengatur individu disabilitas, sambung Sholakhuddin.

Meskipun ada kesediaan di kalangan pembuat kebijakan Indonesia untuk menerapkan undang-undang yang sejalan dengan prinsip Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas, terdapat kesenjangan yang signifikan dalam pemahaman praktis mereka terhadap prinsip-prinsip ini.

Selain itu, faktor newsworthiness yang dapat memengaruhi penjualan media berita atau pendapatan iklan juga dapat mempengaruhi prevalensi model tradisional disabilitas dan kurangnya representasi progresif.

Namun demikian, perlu dicermati implikasi dari representasi ‘tradisional’ tersebut karena representasi ini berpotensi menghambat kemampuan difabel untuk memahami diri mereka secara akurat dan positif, mengarah pada penolakan identitas disabilitas mereka.

“Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dalam representasi penyandang disabilitas di media daring Indonesia.”

4 dari 4 halaman

Mencapai Keseimbangan Representasi Difabel dalam Berita

Untuk mencapai keseimbangan representasi difabel, media berita harus mempertimbangkan untuk mempublikasikan lebih banyak artikel berita yang menekankan agensi dan kemampuan orang-orang dengan disabilitas.

“Serta memperluas rentang perspektif dari difabel, termasuk anak-anak dengan disabilitas, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tantangan dan pandangan mereka.”

Selain itu, peningkatan publikasi artikel berita yang menggunakan model progresif juga dapat memfasilitasi upaya advokasi yang bertujuan untuk meningkatkan kebijakan disabilitas dan mendorong inklusi sosial yang lebih luas.

Dengan memperbanyak artikel berita yang mengikuti model progresif, media berita Indonesia dapat membentuk persepsi sosial yang lebih positif terhadap difabel. Sehingga, memengaruhi pembuat kebijakan Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang lebih efektif dan inklusif yang memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia.

“Dengan demikian, penting bagi media online Indonesia untuk memainkan peran yang lebih proaktif dalam memperbaiki representasi penyandang disabilitas, memastikan bahwa mereka diakui dalam segala keberagaman dan kelebihannya, serta mendorong masyarakat untuk memperlakukan mereka dengan hormat dan inklusif,” pungkas Sholakhuddin.