Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas Muslim di Indonesia acap kali menghadapi hambatan dalam beribadah.
Misalnya soal sah tidaknya ijab qabul dalam bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu-wicara baik dalam prosesi pernikahan maupun proses jual beli. Ada pula tanya soal bagaimana hukum membuka Al-Quran dengan kaki bagi penyandang disabilitas fisik.
Baca Juga
Penyandang Disabilitas di Temanggung Kini Bisa Manfaatkan Layanan Terapi Gratis, Ada Fisioterapi hingga Pendampingan Psikolog
SLBN 1 Mataram Punya Unit Pencegahan dan Penanganan Kasus, Murid Bisa Lapor Jika Dapat Kekerasan
Ferdy Hasan dan Safina Berbagi Pengalaman Mengasuh Anak dengan Autisme, Dukungan Keluarga Bantu ABK Berkembang
Selain itu, muncul pula persoalan tentang bagaimana hukum transaksi jual beli penyandang disabilitas netra menurut fiqih dan berbagai macam persoalan lain yang terkait dengan permasalahan ibadah.
Advertisement
Pada aspek sarana peribadatan, penyandang disabilitas acap kali mendapati kenyataan bahwa tempat atau fasilitas ibadah yang tidak aksesibel. Infrastruktur masjid banyak yang tidak ramah bagi mereka. Seperti anak tangga atau undakan tinggi, tempat wudhu berkolam, lantai licin, trotoar tanpa guiding block di sekitar masjid, dan lainnya.
Di luar permasalahan infrastruktur, seringkali mereka dihadapkan pada khutbah Jumat tanpa running text atau juru bahasa isyarat. Di situ perintah anṣitµ (perhatikanlah) terlaksana bagi mereka penyandang disabilitas rungu, tapi tidak bisa merealisasikan perintah wasma’u (dengarkanlah) untuk memastikan ketersampaian isi khutbah sebagai salah satu syarat sah salat Jumat.
Untuk melaksanakan kewajiban ibadah, kesucian menjadi syarat utama. Namun, ada pula pertanyaan mengenai hukum salat di atas kursi roda dengan roda yang diragukan kesuciannya. Begitu pula dengan cara memastikan masuknya waktu salat bagi penyandang disabilitas netra.
“Bagi yang tidak akrab dengan tradisi fiqih pesantren, pertanyaan tersebut amatlah sulit ditemukan jawabannya,” seperti tercantum dalam buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas melansir NU Online, Senin (3/4/2023).
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Hambatan di Lingkup Sosial-Ekonomi
Sementara, dalam lingkup sosial-ekonomi, penyandang disabilitas mengalami perlakuan yang kurang adil. Mulai dari keabsahan tanda tangan penyandang disabilitas netra ketika melakukan transaksi perniagaan hingga kendala untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam aspek politik dan kebijakan, fiqih dipertanyakan legitimasinya untuk tidak hanya memberikan anjuran pada pertimbangan maslahah dan mafsadah (kebaikan dan keburukan) saja. Namun juga memperjelas apakah fiqih dapat mewajibkan pemerintah untuk menjalankan kebijakan yang inklusif termasuk soal aksesibilitas tempat ibadah.
Tentu hal ini dibarengi dengan satu hal yang amat krusial, yaitu keterlibatan penyandang disabilitas dalam proses penyusunan kebijakan.
Advertisement
Advertisement
Diskriminasi dalam Hubungan Personal-Keluarga
Dalam hubungan personal-keluarga, diskriminasi justru muncul secara perorangan dan cenderung lebih diskriminatif daripada yang terjadi pada diskriminasi di wilayah peribadatan.
Contohnya, diskriminasi pada anak penyandang disabilitas dan kasus perceraian dengan alasan disabilitas. Banyak penyandang disabilitas anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang layak, ditelantarkan, dan tidak mendapatkan waris sesuai ketentuan fiqih karena dianggap tidak berkemampuan dalam mengelolanya.
Persoalan ini sama ramainya dengan pengalaman penyandang disabilitas yang tertolak untuk menikah dengan alasan kafa’ah dan anggapan bahwa mereka tidak berkemampuan membina keluarga.
Advertisement
Persoalan Kompleks
Persoalan-persoalan tersebut menampilkan kompleksitas pengalaman penyandang disabilitas. Pengalaman tersebut menandakan bahwa penyandang disabilitas bukan hanya mengalami diskriminasi di wilayah peribadatan, tapi juga pada hal-hal yang menyangkut hal lain seperti transaksi dan hak reproduksi.
Kitab-kitab fiqih, utamanya fiqih klasik, memiliki kecenderungan menempatkan tema disabilitas di pasal atau bab yang berlainan.
Hanya Abu Yahya Zakariyya Al-Anshari, ulama fiqih bermadzhab Syafi’i yang secara spesifik menulis satu bab mengenai ahkam al-a‘ma (hukum-hukum yang berkenaan dengan penyandang disabilitas netra). Ini ditulis dalam kitab Tahrir Tanqih al-Lubab.
Advertisement
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Advertisement