Sukses

Kelas Balet untuk Tunanetra Berkembang Pesat Selama Pandemi COVID-19

Pendiri dan instruktur Dark Room Ballet Krishna Washburn, seorang penari tunarungu yang tinggal di New York, mengajarkan Stern bahwa para penyandang disabilitas juga dapat berlatih balet

Liputan6.com, Jakarta Sejak pandemi COVID-19, banyak yang menjadi lebih peduli pada kesehatan. Salah satunya seorang warga Amerika, George Stern, yang tunanetra-tunarungu, ingin melakukan sesuatu yang terjangkau yang dapat membuatnya tetap sehat, namun juga aman. Hingga akhirnya pilihannya jatuh pada kelas balet virtual.

Saat Stern sedang membuka postingan terbaru di grup media sosial tempat para penyandang disabilitas membahas tips-tips agar tetap bugar, ia menemukan Dark Room Ballet, kelas virtual di apartemen New York City dan dirancang untuk orang-orang dengan gangguan penglihatan.

Ia teringat akan kata-kata seorang wanita Afrika-Amerika yang menjadi penari utama di American Ballet Theater, Misty Copeland, bahwa balet untuk semua tipe tubuh, bukan hanya tinggi, kurus, dan bukan hanya untuk yang bisa melihat, katanya, seperti dilansir dari MSN.

Pendiri dan instruktur Dark Room Ballet Krishna Washburn, seorang penari tunarungu yang tinggal di New York, mengajarkan Stern bahwa para penyandang disabilitas juga dapat berlatih balet. Mereka menawarkan kelas secara virtual selama pandemi agar pelajarannya lebih mudah diakses.

Washburn memandu muridnya menggunakan deskripsi yang sangat terperinci tentang bagaimana mereka harus menggerakkan tubuh. Jika penari balet pada umumnya menghadap lurus ke depan sembari mengamati gerakan mereka di cermin sampai mereka menyempurnakan urutannya. Maka di kelas Washburn tidak terlalu mementingkan kesempurnaan. Sebagai gantinya, ia menjelaskan bagaimana perasaan tubuh murid-muridnya untuk membangun kepercayaan diri mereka untuk menari.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kelas Washburn semakin berkembang dengan pesat selama pandemi

Selama pengajaran, Washburn hanya menggunakan deskripsi terperinci karena dari pengalamannya, hampir setiap murid yang ia ajari memiliki sejarah disentuh dengan cara yang tidak diinginkan. Sementara bagi tunanetra, mereka belajar dengan melakukan percakapan dan melalui eksperimen berulang. Itulah mengaa Washburn bertujuan untuk mengenalkan muridnya cara-cara baru dalam bergerak dan mengekspresikan diri.

Niat baiknya tersebut sampai membuat seorang pria tunanetra berusia 60 tahun, Len Burns, yang kehilangan latihan rutin jiu-jitsu dan yoga sejak pandemi COVID-19, memulai kelas balet pemula atas dorongan temannya. Tentu awalnya Burns percaya dirinya tidak cocok untuk menjadi murid balet pemula. Namun setelah mencobanya sekali, ia mengaku stereotipnya tentang balet telah berubah.

Kelas Washburn semakin berkembang dengan pesat selama pandemi, hingga orang dari seluruh dunia berminat untuk bergabung. Ia mengatakan seorang muridnya sampai rela bangun jam 5 pagi hanya untuk berlatih menari dengan Dark Room Ballet.

Washburn menganggap dirinya sebagai "seniman balet rakyat" karena sebagian besar gerakan baletnya ia belajar otodidak, namun ia setiap hari tetap mengikuti bimbingan mentor penari tunanetra, Mana Hashimoto.

Hashimoto belajar tari di New England Conservatory of Music, Berklee College of Music dan Martha Graham School of Contemporary Dance. Ia menampilkan tarian di seluruh dunia, termasuk gerakan tarian dansa terkenal di dunia, Jacob's Pillow di Massachusetts. Pada 2009, Hashimoto mendirikan Dance Without Sight, rangkaian lokakarya yang mengajarkan gerakan melalui sentuhan, suara, dan penciuman.

Washburn awalnya hanya seorang penari latar, namun seiring waktu ia naik pangkat menjadi penari utama di Infinity Dance Theater di New York City. Ia juga memegang gelar master dalam pendidikan dan sertifikasi dari American College of Sports Medicine yang berbasis di Indiana.

Kendati demikian cerdasnya Washburn, ia telah mengalami perjuangan panjang. Ia mengaku dirinya dulu sering diremehkan oleh para guru dan artis lainnya. Ia dilarang masuk kelas dengan penari yang bisa melihat karena instrukturnya takut ia bisa melukai dirinya maupun orang lain. Namun ia tetap mengambil jalan ini karena ia pikir tidak akan mendapat pekerjaan lain.

Ia memulai proyek kelas menari kelompok privat secara gratis demi meruntuhkan penghalang bagi penari tunanetra.

"Misi saya yang sebenarnya adalah melawan penolakan pendidikan. Jika seseorang ingin belajar sesuatu dari saya, saya tidak akan pernah berkata 'tidak', karena mereka pantas untuk belajar," kata Washburn.

Ia menggali lebih dalam teknik balet dengan menjelaskan kerangka dan biomekanik. Ia melatih penari untuk menyesuaikan diri dengan tubuh mereka dan merasakan bagaimana setiap otot bergerak untuk membentuk sesuai apa yang diinginkan.

Pada hari pertama kelas, Washburn menginstruksikan siswanya untuk memasang selotip di lantai dan terbiasa dengan perasaan itu. Itu membantu para penari merasa "percaya diri dan berorientasi pada ruang dansa mereka," kata Washburn. Orang-orang bergerak lebih bebas saat mereka tahu lingkungannya aman.

Stern mengatakan pelajaran pribadinya dengan Washburn memberikan wawasan tentang identitasnya serta fisiknya. Di usianya yang ke-30 yang tuli dan buta, namun ia mampu mempelajari gerakan-gerakan tersebut, demikian halnya dengan Burns yang usianya bahkan lebih tua darinya.

Dark Room Ballet menyambut orang-orang dengan berbagai pengalaman menari dan semua kemampuan, meskipun kebanyakan orang yang hadir memiliki beberapa gangguan penglihatan. Meskipun kelas virtual dimulai selama pandemi, Washburn mengatakan dia berencana untuk terus mengajar kelas tersebut selama sisa hidupnya.

"Saya mencapai impian saya kini, menjadi guru. Saya bekerja hanya dengan orang-orang yang saya hormati dan saya diperlakukan dengan hormat," kata Washburn. "Tapi ini baru mulai berkembang, dan saya harus menunggu dunia berantakan untuk mewujudkannya," candanya.

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.