Sukses

Penyandang Disabilitas Butuh Kesempatan dan Pengakuan di Lingkungan Kerja

Sarah Byrne adalah penyandang down syndrome yang bekerja di Dewan Australia Selatan bidang Disabilitas Intelektual (SACID) sebagai pekerja inklusi.

Liputan6.com, Jakarta Sarah Byrne adalah penyandang down syndrome yang bekerja di Dewan Australia Selatan bidang Disabilitas Intelektual (SACID) sebagai pekerja inklusi.

Ia memiliki harapan besar agar orang-orang sepertinya dapat diberi kesempatan yang sama.

"Saya marah ketika orang tidak mengikutsertakan saya ke dalam beberapa hal, saya merasa frustasi, bingung juga, itu membuat saya sedih," katanya mengutip ABC.

Dalam pekerjaannya, Byrne bertugas untuk membantu memberikan umpan balik pada program-program baru terkait disabilitas.

Direktur eksekutif SACID Felicity Crowther mengatakan dia senang dengan pertumbuhan Byrne di posisi itu.

"Dia telah beralih dari membantu mengatur hal-hal kecil dan sekarang membantu banyak lokakarya. Ia melakukan hal itu dengan sangat percaya diri," kata Crowther.

Kemampuannya dalam bersosialisasi membuatnya cukup diterima di lingkungan kerja. Namun, tidak semua penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang sama dengan Byrne.

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bercermin Dari Kasus Ann Smith

Di sisi lain, penyandang disabilitas rentan mendapatkan pelecehan dan diskriminasi.

Mengenai hal tersebut, teman-teman, rekan kerja, dan keluarga Byrne memastikan dia aman dan dijaga. Namun, tidak semua orang dengan disabilitas dapat membangun ikatan yang kuat dengan komunitas mereka.

Pakar disabilitas Sally Robinson menyoroti kematian wanita penyandang disabilitas Ann Marie Smith sebagai contoh.

Smith adalah penyandang cerebral palsy dari Australia yang diabaikan di tengah keterbatasannya. Ia dibiarkan duduk dalam waktu lama tanpa makan dan perawatan lain yang tidak bisa ia lakukan sendiri.

Smith tampaknya memiliki koneksi terbatas dengan siapa pun selain pengasuhnya. Ia cenderung tertutup dengan orang lain dan tidak mampu membangun lingkungan pertemanan.

Kasus kematiannya sempat membuat publik terkejut. Profesor Robinson mengatakan satu dari tiga pemuda yang menyandang disabilitas mengalami beberapa bentuk pelecehan, dan risiko itu meningkat dengan tingkat kondisi kesehatan mereka.

Penelitiannya menunjukkan isolasi adalah masalah utama bagi orang-orang dengan disabilitas fisik dan intelektual, dan dia menemukan bahwa, jika memungkinkan, mereka sebenarnya ingin mengatakan sesuatu tentang perawatan apa yang  mereka butuhkan.

"Prioritas mereka adalah merasa nyaman, merasa aman, merasa dikenal, dan merasa komunitas mereka dapat diakses oleh mereka. Komunitas adalah tempat di mana mereka merasa tidak hanya fisiknya yang hadir, tetapi di mana mereka merasa diterima," kata Profesor Robinson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.