Sukses

Kisah Disabilitas Banyuwangi, Pernah Jadi Pengemis hingga Pemahat Barong

Berawal dari hobinya terhadap seni Barong hingga aktif mengikuti seni pertunjukan, penyandang Disabilitas ini bisa menjadi seniman luar biasa.

Liputan6.com, Jakarta Mustaq Bilal adalah seorang seniman disabilitas yang menjadi pemahat kepala Barong. Ia tinggal di Lingkungan Karangasem, Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Bilal terlahir dengan bagian tangan kanan yang mengecil tanpa jari-jari tangan. Agar ia tetap bisa memahat, palu kayu diikatkan terlebih dulu dengan kain di lengannya. Lalu, bagian tangan kiri dia gunakan untuk memegang alat pahatan.

"Dulu awalnya pahatnya di tangan kanan, Palu di tangan kiri, sulit. Terus cari akal, saya coba mengikat palu di lengan, hasilnya lancar," cerita Bilal.

Bukan hanya lengan kanan, Bilal juga terlahir disabilitas dengan kondisi tidak memiliki dua kaki. Kayu balok berukuran 32x36 centimeter yang ia pahat, sama besar dan tinggi dengan ukuran badannya.

"Saya bisa buat Barong, Ogo-ogo mulai dari seukuran gantungan kunci sampai yang besar untuk pertunjukan seni Barong," ucap Bilal.

Bilal sudah menekuni kerajinan pahat Barong sejak 1999 silam. Hal itu ditekuni Bilal karena hobinya dan aktif mengikuti pertujukkan Barong.

Jauh sebelumnya, sejak lulus dari bangku Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), bakat memahat Bilal sudah mulai terlihat, meski dia seorang disabilitas. Ia mengukir barong berbahan kayu menggunakai pisau cutter.

"Belajarnya semua autodidak, saya juga aktif di kesenian Barong, jadi penabuh gong, kadang juga gamelan," papar Bilal.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dibantu Saudara dan Tetangga

Saat ini, selain dari membuat kepala barong, Bilal memiliki kelompok seni pertunjukan yang bernama Seni Barong Ogoh-ogoh Sekar Budoyo yang sering tampil pada saat undangan hajatan pernikahan dan khitanan.

Saat memahat kepala barong, Bilal dibantu saudara dan tetangga. Terutama untuk urusan menggergaji balokan kayu jenis nangka dan mangga.

"Kesulitan untuk menggergaji, dibantu saudara tetangga," ucap Bilal.

Untuk itu, agar kekuatan bisa terus memahat kayu juga terbatas. Setiap dua jam sekali, dia akan istirahat bukan hanya untuk tenaga, tapi untuk bagian lengan kanannya juga bisa pulih.

Untuk menyelesaikan satu buah kepala barong besar, dia butuh waktu 3-5 hari, tergantung ukuran besarannya.

"Kalau besar butuh waktu 5 hari, kecil 3 hari. Untuk mewarnai saya belajar dari di Google, cara memadukan warna," kata Bilal.

Menurutnya, satu kepala barong dijual dengan harga mulai dari Rp 60 ribu sampai Rp 1,5 juta. Sejauh ini, Bilal hanya membuat barong jika ada yang memesan saja. Untuk mengenalkan hasil kerajinannya, dia juga memanfaatkan media sosial.

"Rata-rata yang pesan dari Banyuwangi sendiri, terakhir paling jauh ada dari Pati dan Kupang. Satu bulan rata-rata ada dua sampai tiga yang pesan," terang dia.

 

3 dari 4 halaman

Pernah Dipekerjakan Jadi Pengemis

Berawal dari mimpinya yang ingin memiliki sepeda motor, Bilal pernah tergiur dengan tawaran untuk bekerja sebagai penjaga toko kitab di Kalimantan pada 2000-an dengan upah Rp 1,5 juta.

Dia bersama dua temannya asal Banyuwangi juga merupakan disabilitas tuna grahita, berangkat ke pihak yang menawari pekerjaan di Madura.

"Berangkat dari sini ke Madura, di sana satu minggu di rumah bos. Katanya naik pesawat ternyata pakai jalur laut," ucap Bilal.

Setelah sepekan di Madura, Bilal memutuskan berangkat ke Kalimantan. Rasa curiga mulai dia rasakan saat berangkat ke Kalimantan yang juga menggunakan jalur transportasi laut.

"Dari sana saya ingin tahu tempat kerjanya seperti apa. Malam-malam diantar di tempatnya, ternyata saya diturunkan di tengah pasar, disuruh duduk di tengah pasar. Bukan jadi penjaga toko, tapi jadi pengemis," kata Bilal pelan.

Dia ingin berontak dan dipulangkan ke Banyuwangi. Namun karena takut mendapatkan kekerasan, Bilal pun terpaksa menuruti keinginan penipu.

"Saya bilang, saya tidak mau untuk menadahkan tangan, kata orangnya duduk sini saja. Tapi gimana lagi mau nangis enggak bisa. Kalau berontak takut pulang hanya nama," kenang Bilal.

Bilal bersama dengan dua temannya dari Banyuwangi, ditempatkan mengemis di lokasi yang berbeda. Pada jam yang sudah ditentukan, dia harus pulang dan menyerahkan hasil dari ngemisnya.

"Tidurnya di rumah dikumpulkan, berangkat mulai pagi jam 7-an, sampai siang pulang. Setengah hari rata-rata dapat Rp 200 ribu. Saya lupa tahunnya, tapi yang jelas era Presiden SBY," tuturnya.

Bilal akhirnya menyusun strategi untuk bisa kabur dengan temannya, setelah bertahan menjadi seorang pengemis.

"Hari ketujuh, berunding sama teman, kabur, nginap di saudara teman. Dan uang enggak ada, saya jual handphone, dan teman dihutangi untuk beli tiket pulang," tutur dia.

Bilal melanjutkan, meski kondisi fisiknya terbatas, dia tidak mau bekerja dengan modal kasihan layaknya seperti pengemis.

Keinginannya memiliki sepeda motor akhirnya terwujud saat pulang ke Banyuwangi dari hasil membuat kerajinan barong.

"Kerja karena ingin punya motor, akhirnya bisa beli dari bikin barong, total dengan modif habis Rp 7 jutaan. Buat teman-teman difabel jangan sampai putus asa, jangan sampai bermalas malasan. Saya saja punya semangat kerja," ungkap Bilal. 

 

4 dari 4 halaman

Cukupi Kebutuhan dari Barong

Sejak 2017, Bilal memberanikan diri untuk melamar perempuan yang juga penyandang disabilitas asal Kabupaten Jember.

Ia pun menikahi Mila Yunita Sari (24). Kini, Bilal sudah dikaruniai buah hati yang diberi nama Muhammad Kamilul Hubil Izah. Saat ini, sang anak berusia 10 bulan.

Ketika sang anak tidur, istri Bilal baru bisa bantu-bantu menghaluskan dengan amplas kepala barong yang selesai dipahat.

"Kalau anak saya sudah tidur saya bisa bantu-bantu, sehari bisa menghaluskan tiga kepala barong," ucap Bilal.

Dari hasil memahat, Mila mengatakan sudah bisa mengatur keuangan untuk kebutuhan keluarga kecilnya.

"Alhamdulillah cukup untuk beli susu formula, anak saya sesar dan saya konsumsi obat-obatan setelah sesar, jadi anak pakai susu formula sejak lahir," kata Mila.

Mila juga terlahir dengan kondisi kaki yang kecil. Dari kondisi tersebut, Mila divonis terserang virus polio.

"Katanya dulu waktu kecil jatuh dari atas meja, terus salah pijat. Tapi kata orang sekarang bilangnya polio, kan kecil kakinya," ucap  Mila.

Sementara itu, Bilal bisa mengenal Mila dengan melalui media sosial Facebook. Di usianya 36 tahun yang masih lajang, dia memberanikan diri untuk kenalan dan melamar Mila.

"Kenalan di Facebook selama sebulan, kemudian ditantang datang ke rumahnya, ya saya ke sana langsung dengan orangtua, saya lamar. Saya ke Jember bawa motor modif milik saya sendiri," kenangnya.

Dalam sebulan, saat ini pemasukan dari memahat bisa mencapai Rp 2-3 juta, namun tergantung ada atau tidak pemesan untuk membuat barong.

Untuk pemasarannya, Bilal dan Mila memanfaatkan media sosial untuk mengenalkan hasil kerajinan Barongnya.

"Sebagai pembuat barong, saya juga ingin melestarikan seni budaya nusantara ini, lewat layanan pertunjukan seni barong kami," pungkas Bilal.

 

(Annisa Suryanie)

 

Reporter : Mohammad Ulil Albab

Sumber  : Merdeka.com 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.