Sukses

4 Hoaks soal Masker Selama Pandemi Covid-19, Bikin Infeksi Paru-Paru hingga Ada Antena 5G

Pandemi virus corona covid-19 masih belum berakhir. Bahkan di Indonesia kasusnya terus meningkat belakangan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi virus corona covid-19 masih belum berakhir. Bahkan di Indonesia kasusnya terus meningkat belakangan ini.

Di Indonesia menurut laman covid19.go.id ada 111.455 kasus positif, jumlah kematian mencapai 5.236 orang dan yang sembuh mencapai 68.975 orang.

Itu sebabnya Pemerintah terus menggalakkan protokol kesehatan agar penyebaran pandemi covid-19 tidak semakin meluas. Presiden Joko Widodo secara khusus menyoroti penggunaan masker.

Ia berharap kampanye pemakaian masker ditingkatkan selama dua minggu ke depan. Ia juga ingin melibatkan PKK dalam kampanye pemakaian masker ini.

Namun masih banyak pula hoaks soal masker selama pandemi virus corona covid-19. Apa saja hoaksnya? berikut beberapa diantaranya:

 

 

 

 

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Cek Fakta: Tidak Benar Memakai Masker Bisa Bikin Radang Selaput Dada

Beredar viral di media sosial Facebook dan Twitter tentang penggunaan masker yang bisa menyebabkan pleurisy atau radang selaput dada. Kabar ini beredar sejak akhir bulan lalu.

Salah satu akun yang mengunggahnya di Twitter adalah @BeachMilk. Postingan tersebut diunggah pada Senin (27/7/2020) lalu.

Postingan ini telah mendapat lebih dari 1700 retweet dan 1600 likes di Twitter. Berikut isinya:

"My daughter. 19 yrs old. Healthy. Frontline worker at a huge grocery store chain. Started feeling sick about two weeks ago. Side and back pain. Nausea.. Chest pain. Primary doc sent her for chest x-ray.. Something "lit up" on right side. Sent for MRI. Cat scan. Ultra sound of back and abdomen areas..NOTHING.. While at work was unable to breathe. Chest pain. Rushed to e.r. quarantined. Tested for covid. Young. By herself because no one can be with her. Turns out its pleurisy.. An inflection of the outside of the lining of the lungs. They basically tell her.. It's because she has been wearing a mask for over 8 hours a day 5-6 days a week. Breathing in her own bacteria. Carbon dioxide.. Caused an infection. And now she is in severe pain. Has to be off work with no pay.. But you wont see that on social media! She's 19. Healthy. And now is bed bound and struggling to breathe. Antibiotics. Steroids. Breathing "treatments."

Yang artinya

"Anak perempuanku. 19 tahun. Sehat. Pekerja garis depan di rantai toko kelontong besar. Mulai merasa mual sekitar dua minggu lalu. Nyeri sisi dan punggung. Mual .. Nyeri dada. Dokter primer mengirimnya untuk rontgen dada .. Sesuatu "menyala" di sisi kanan. Dikirim untuk MRI. Suara ultra dari daerah punggung dan perut..Tidak ada .. Saat bekerja tidak dapat bernapas. Nyeri dada. Bergegas ke UGD. Dikarantina. Diuji untuk covid. Muda, sendiri karena tidak ada yang bisa bersamanya. Ternyata itu radang selaput dada .. Infleksi bagian luar dari lapisan paru-paru. Mereka pada dasarnya memberitahunya .. Itu karena dia telah memakai masker selama lebih dari 8 jam sehari 5-6 hari seminggu. Bernapas dalam bakteri sendiri. Karbon dioksida .. Menyebabkan infeksi. Dan sekarang dia sangat kesakitan. Harus pergi bekerja tanpa bayaran .. Tapi Anda tidak akan melihatnya di media sosial! Dia 19. Sehat. Dan sekarang ranjang terikat dan berjuang untuk bernafas. Antibiotik. Steroid. Perawatan pernapasan."

Lalu benarkah klaim dalam postingan tersebut tentang pemakaian masker yang bisa menyebabkan radang selaput dada atau pleurisy?

Cek Fakta Liputan6.com menelusuri klaim tersebut dengan mengetik kata kunci "wearing face mask pleurisy" di mesin pencarian Google.

Hasilnya ada artikel AFP Factcheck yang membahas klaim tersebut. Artikelnya berjudul, "Wearing a face mask does not put you at risk of developing pleurisy, health experts say."

Dalam artikelnya AFP Factcheck meminta penjelasan dari Departemen Kesehatan Australia di kota Victoria. Hasilnya Depkes Australia menyebut pleurisy atau radang selaput dada hanya disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, pembekuan darah di paru-paru dan kondisi autoimun.

Selain itu AFP Factcheck juga meminta penjelasan dari Dr. Leon van den Toorn, presiden the Dutch Association of Doctors for Lung Diseases and Tuberculosis dan a pulmonologist di Erasmus University Medical Centre.

"Sama sekali tidak ada indikasi penggunaan masker menimbulkan risiko bagi diri sendiri," ujar van den Toorn.

Selain itu ada artikel lain yang membahas kabar tersebut dengan judul artikel "Face masks will not cause pleurisy, experts say"

Dalam artikelnya, AP meminta penjelasan dari Humberto Choi, Pulmonologist dari Cleveland Clinic.

"Ada ribuan pekerja medis bekerja menggunakan masker setiap hari. Bahkan masker yang mereka pakai lebih ketat dari masker bedah dan hingga sekarang belum ada yang terkena pleurisy."

Klaim yang menyebut memakai masker bisa menyebabkan pleuritis atau pleurisy adalah hoaks.

3 dari 6 halaman

2. Cek Fakta: Tidak Benar Ada Antena 5G di Masker Sekali Pakai

Facebook kembali digemparkan dengan postingan mengenai masker. Pengguna dengan akun Catherine Scarborough menybeut di dalam masker ada antena 5G.

Begini narasinya:

"Ya Tuhan!! Antena 5G di masker wajah Anda. Ini lebih dari kejahatan, tolong sadar, ada bayaya lebih besar di tangan Anda."

Itu merupakan postingan Catherine Scarborough yang diunggah pada 9 Juli lalu. Antena 5G ini memang sempat ramai dibicarakan karena bisa merusak kekebalan tubuh.

Lalu, benarkah ada antena 5G di masker yang biasa digunakan hanya untuk sekali pakai?

Tim Cek Fakta Liputan6.com mencoba menelusuri kebenaran dari isu tersebut. Tim menemukan sebuah artikel di Liputan6.com yang dimuat pada 28 Juli 2020. Artikel itu berjudul: "Viral Kawat dalam Masker Medis Disebut Antena 5G Pembunuh, Ini Faktanya".

Artikel itu mengambil penjelasan dari Dr. April Baller, pakar pengendalian infeksi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). "Temukan bagian atas dari masker, bagian itu biasanya ditandai dengan adanya strip logam."

Baller menginstruksikan para pengguna untuk memakai masker kemudian menambahkan, "Cubit strip logam itu untuk menyesuaikannya dengan bentuk hidung Anda."

Artikel yang diedit oleh Tanti Yulianingsih ini juga memaparkan penjelasan sebuah video dari program Bloomberg QuickTake News, Seto Wing Hong, salah satu direktur di Pusat Kolaborasi Bidang Epidemiologi dan Pengendalian Penyakit Menular WHO, menunjukkan bagian atas masker.

"Bisakah Anda melihat ini? Strip logam yang kuat, kecil, dan tebal ini? Ini untuk menunjukkan bahwa Anda harus meletakkannya di atas. Mengapa? Karena saat Anda mengenakan masker, Anda perlu menekannya sampai menjepit hidung Anda, lalu Anda menarik masker ke bawah."

Strip logam atau kawat pada masker bedah memungkinkan masker itu untuk "dibentuk sesuai dengan hidung penggunanya agar lebih nyaman dipakai," menurut juru bicara 3M, produsen alat pelindung diri (APD), seperti dilansir Xinhua, Selasa (28/7/2020).

Terkait risiko kesehatan dari 5G, WHO pada Februari lalu mengatakan melalui situs webnya, "Setelah melakukan banyak penelitian, tidak ada dampak kesehatan yang merugikan terkait dengan paparan teknologi nirkabel."

Dalam Cek Fakta sebelumnya, yang ditulis pada 23 Juli 2020, Tim Cek Fakta Liputan6.com juga sudah membantah sebuah akun Facebook yang menyebut jaringan 5G bisa merusak kekebalan tubuh. Tim menulisnya dalam artikel yang berjudul: 'Cek Fakta: Tidak Benar Virus Corona Flu Biasa dan Jaringan 5G Bisa Rusak Kekebalan Tubuh'.

Dalam artikel tersebut dijelaskan kalau jaringan 5G tidak mungkin merusak kekebalan tubuh. "Fase pertama yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh melemah adalah kekurangan makanan dan kurangnya kontak dengan sinar matahari."

Tim peneliti dari WHO juga tidak menemukan bukti dari para akhi yang menyebut penggunaan masker bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh. Para ahli malah menyebut makanan dan sinar matahari sangat penting untuk mendapatkan kesehatan, termasuk fungsi kekebalan tubuh.

Foto yang menyebut kalau di masker sekali pakai terdapat antena 5G adalah kesimpulan yang salah. Faktanya, kawat yang ada di dalam masker berfungsi untuk membuat pemaikaian lebih nyaman.

4 dari 6 halaman

3. Cek Fakta: Tidak Benar Penggunaan Masker Berbahaya untuk Anak-Anak karena Efek CO2

Seorang pemilik akun Facebook, Laura Garcia membagikan sebuah link video yang menyebut penggunaan masker untuk anak kecil sangat berbahaya selama pandemi virus corona.

Video di akun Facebook Laura Garcia itu berjudul: "Mask Test Proves Toxic for Children". Dalam video tersebut mereka membuktikan kalau pengunaan masker kepada anak-anak sangat berbahaya karena ada kadar racun CO2 yang terpusat di masker.

"Apakah Anda mematuhi Undang-Undang dari pemerintah yang bisa merusak perkembangan otak anak Anda?" kata pembawa acara di video tersebut, Del Bigtree, yang diunggah pada 7 Juli 2020 di channel YouTube miliknya.

Di dalam videonya, Bigtree menggunakan sensor karbon dioksida (CO2) untuk mengukur jumlah CO2 dalam partikel per juta (ppm) yang ada di masker seorang anak kecil. Sensor menunjukkan tingkat 8.486 ppm defab respirator N95, 8.934 ppm dengan masker bedah, dan 9.129 ppm dengan masker kain.

Lalu, benarkah penggunaan masker wajah kepada anak-anak berbahaya? Simak faktanya di halaman berikut.

Tim Cek Fakta Liputan6.com menemukan sebuah artikel di AFP yang dipublikasikan pada 21 Juli 2020. Artikel itu berjudul: 'Flawed experiments exaggerate risk from CO2 concentration in masks'.

Dalam artikel tersebut, AFP menyebut kalau Bigtree menggunakan alat yang salah. Hal itu dibuktikan AFP dengan berbincang dengan seorang peneliti di Universitas Alberta, Hyo-Jick Choi, yang merancang masker bedah dan filter respirator untuk menonaktifkan jenis virus tertentu.

"Mereka menggunakan alat yang salah dan mereka mencoba membandingkan angka yang salah. Jumlah mereka harus menjadi kebalikan total," katanya.

"Sudah sewajarnya kalau masker kain menunjukkan efisiensi filtrasi rendah. Sedangkan masker bedah memiliki efisiensi filtrasi yang lebih tinggi, dan N95 akan memiliki efisiensi tertinggi," ujar Hyo-Jick Choi menambahkan.

Lebih lanjut, Hyo-Jick Choi menyebut eksperimen yang dilakukan oleh Bigtree merupakan percobaan yang cacat. Sang peneliti melihat meter karbon dioksida yang digunakan Bigtree berasal dari AZ Instrument Corp, sebuah rusahaan yang berbasis di Taiwan, berkisar dari 0 hingga 2.000 ppm. Layarnya dapat menampilkan bacaan hingga 9.999, tetapi akurasinya kurang.

Sementara itu, seorang dokter UGD di Belgia yang menulis tentang studi keracunan karbon dioksida, Steven Vercammen menyebut percobaan dari Bigtree sebagai 'ilmu yang buruk'. Menurut Vercammen, metrik paling penting adalah kadar oksigen dan CO2 dalam aliran darah.

"Situs web kesehatan membuat pedoman untuk konsentrasi udara di lingkungan tertutup, seperti buat pekerja yang membersihkan lingkungan tertutup, di mana penumpukan CO2 dalam volume besar."

"Percobaan sudah banyak dilakukan dan hasilnya tidak ada efek kesehatan yang signifikan saat menggunakan masker wajah," katanya.

Sementara itu, Kompas.com pada 31 Mei 2020 memuat artikel dengan judul: 'Pakai Masker untuk Cegah Corona Tak Bikin Keracunan Karbon Dioksida'. Dalam artikelnya, Kompas melansir Forbes (12/5/2020), para tenaga kesehatan telah membuktikan penggunaan masker tidak menyebabkan keracunan karbon dioksida.

Dalam sebuah operasi yang berlangsung selama beberapa jam, dokter bedah dan tim medis terbukti tidak linglung atau jatuh pingsan karena sirkulasi udara maskernya lancar. Arahan mengenakan masker utamanya untuk mencegah droplet (cipratan cairan dari saluran pernapasan) saat berbicara, bernapas, batuk, atau bersin tidak menyebar ke sekitarnya.

Dengan beragam material atau bahan pembuatan, masker terbukti efektif mengurangi penyebaran virus corona. Sebagai informasi, partikel virus corona berukuran sekitar 125 nanometer. Ukuran ini membuat virus tidak bisa menembus masker.

Lain halnya dengan karbon dioksida, oksigen, sampai nitrogen. Molekul gas tersebut ukurannya jauh lebih kecil dari virus corona. Dengan ukuran molekul yang lebih kecil, karbon dioksida dan oksigen bisa dengan mudah menembus bahan pembuatan masker, termasuk masker N95.

Penggunaan masker wajah kepada anak-anak sangat bahaya karena ada racun CO2 merupakan fakta yang salah. Para peneliti sudah melakukan berbagai percobaan dan tidak ada yang menunjukkan gejala kesehatan yang berarti.

5 dari 6 halaman

4. Cek Fakta: Tidak Benar Penggunaan Masker Wajah Terlalu Lama Bisa Timbulkan Infeksi Paru-Paru

Sebuah akun Facebook No Jab No Pay No Way - Freedom of Choice menggunggah informasi mengejutkan. Akun itu menyebut penggunakan masker wajah terlalu lama bisa menimbulkan infeksi paru-paru.

Akun Facebook itu mengunggah informasi mengenai penggunakan masker wajah terlalu lama bisa menimbulkan infeksi paru-paru pada 8 Juli 2020. Diketahui, dia berbasis di Australia dan memiliki pengikut yang banyak, lebih dari 14 ribu.

Berikut narasinya:

"Orang-orang mulai masuk UGD dengan infeksi paru-paru jarmur karena menggunakan masker. Istirahatlah dari topeng Anda!!"

Akun itu juga menaruh link berita dengan judul: 'Neurosurgeon: Face Masks Pose Serious Risks To Healthy Individuals'. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: 'Ahli Bedah Saraf: Masker Wajah punya Risiko Serius Bagi Orang Sehat'.

Tentunya hal ini menjadi polemik karena unggahan tersebut muncul di tengah pandemi virus corona. Lalu, benarkah penggunaan masker bisa menimbulkan infeksi paru-paru?

Tim Cek Fakta Liputan6.com menemukan sebuah artikel yang membantah postingan akun Facebook, No Jab No Pay No Way - Freedom of Choice. Dalam artikel AFP dengan judul: 'Face masks do not cause fungal lung infections if handled correctly, health experts say', menjelaskan kalau penggunaan masker aman.

Dalam artikel itu, AFP menyebut kalau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 6 Juni 2020, sangat menganjurkan penggunaan masker wajah selama pandemi virus corona covid-19.

AFP juga mengutip penjelasan Profesof Guy Marks, seorang dokter pernapasan dan ahli epidemiologi di Universitas New South Wales. Pernyataan ini dimuat pada 13 Juli lalu.

"Tidak. Masker wajah tidak membahayakan kesehatan kita. Banyak penelitian membuktikan keamanan dan efektivitas masker wajah. Ini (masker wajah) tidak mungkin melemahkan paru-paru dengan cara apapun."

"Masker wajah justru melindungi dari inhalasi semua partikel, termasuk jamur. Kemampuan untuk melindungi dari penghirupan partikel tergantung pada kesesuaian masker dan laju filtrasinya," ucap Profesor Marks.

Sementara itu, tim Liputan6.com pada Senin (21/7/2020) membuat artikel dengan judul: 'Tips Hack dari Dokter agar Masker Pas di Wajah dan Efektif Cegah COVID-19'. Artikel ini mengambil sumber dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). CDC selalu menekankan tentang pentingnya penggunaan masker untuk mencegah penyebaran virus corona.

Mengutip dari artikel tersebut, Olivia Cui, DMD, seorang dokter gigi, berbagi tips super sederhana untuk membuat masker medis menjadi pas di wajah dan menjadi lebih efektif untuk melawan COVID-19.

Dalam video 60 detik, Cui menunjukkan bahwa masker medis sering mengerut di sisi wajah dan terbuka. Untuk mengatasi hal ini, ia menawarkan tutorial singkat tentang membuat masker medis apapun menjadi pas di wajah.

Pertama, cuci tangan Anda lalu keluarkan maskernya. Selanjutnya, lipat topeng Anda menjadi dua. Kemudian, ikat simpul dengan simpul telinga di setiap sisi sedekat mungkin dengan kainnya. Kemudian, masker yang sebelumnya dilipat, saat dibuka akan membentuk oval. Sampai sini jangan dipakai dulu, karena masih ada lubang kecil di kedua sisi topeng di sebelah lingkaran telinga. Maka dari itu, selipkan kain yang melengkung keluar ke sisi dalam masker. Maka Anda telah memiliki masker yang lebih ketat dan lebih aman.

"Dengan tidak adanya N95, ini mungkin menjadi alternatif yang baik," kata Cui. Dan rupanya pemirsa TikTok setuju karena videonya telah mengumpulkan lebih dari 3,4 juta kali penampilan dengan komentator mengoceh tentang hasilnya yang positif.

Klaim dari akun Facebook No Jab No Pay No Way - Freedom of Choice kalau penggunaan masker bisa merusak paru-paru karena jamur adalah kabar hoax. Kenyataannya, WHO sangat menganjurkan penggunaan masker selama pandemi virus corona.

6 dari 6 halaman

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.