Sukses

BPK Soroti Penggunaan Tarif Khusus, PLN Tuntaskan Rekomendasi Tahun Ini

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan belum optimalnya penggunaan tarif khusus bagi pelanggan premium PT PLN (Persero).

Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan belum optimalnya penggunaan tarif khusus bagi pelanggan premium PT PLN (Persero). Menindaklanjuti itu, perusahaan listrik pelat merah itu telah melangsungkan rekomendasi yang diberikan BPK.

Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan hal-hal yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti terkait PLN adalah mengenai pengenaan tarif untuk keperluan layanan khusus (Tarif L) berdasarkan peraturan terkait sudah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi.

"PLN juga telah menindaklanjuti hasil rekomendasi BPK dengan implementasi yang dilaksanakan secara bertahap hingga tuntas tahun ini," ujar dia kepada Liputan6.com, Jumat (8/12/2023).

Dasar Aturan

Di menjelaskan, ketentuan mengenai Layanan Khusus sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan peraturan perubahannya yaitu Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2020 telah diturunkan melalui Peraturan Pelaksana di PLN.

Itu berupa pelaksanaan kebijakan single tarif layanan prioritas di mana hal tersebut mengakomodir kebutuhan pelanggan di semua golongan tarif.

"PLN pun mengapresiasi langkah-langkah BPK RI yang terus memberikan rekomendasi guna perbaikan kinerja dan operasional perseroan, demi meningkatkan layanan yang prima kepada pelanggan," jelasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Temuan BPK

BPK menemukan PT PLN belum sepenuhnya menerapkan tarif layanan khusus (Tarif L) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium.

Temuan BPK, tarif yang dikenakan saat ini menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium yang mengakibatkan PT PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,69 triliun pada uji petik tahun 2021.

"Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Direktur Utama PT PLN agar segera menerapkan tarif kepada pelanggan premium secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku," seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023.

 

3 dari 3 halaman

Masalah di 11 BUMN

Sebelumnya, mengutip IHPS 2023 11 BUMN yang diperiksa BPK diantaranya PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Subholding Gas)/PT PGN, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PT PLN, PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)/PT Telkom, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk/PT Waskita.

Pemeriksaan ini meliputi kegiatan pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi BUMN tahun 2017-2022. Pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi dilakukan untuk mendukung Program Prioritas (PP) 6 – nilai tambah, lapangan kerja, investasi sektor riil, industrialisasi, khususnya Kegiatan Prioritas (KP) iklim usaha, investasi, dan reformasi ketenagakerjaan.

"Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pendapatan, biaya, dan investasi BUMN telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian pada 10 objek pemeriksaan dan tidak sesuai kriteria pada 1 objek pemeriksaan," sebagaimama dikutip.

Permasalahan yang disebut Isma Yatun di Rapat Pripurna meruju pada pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas (PJBG) sebesar USD 15 juta oleh PT PGN kepada PT IAE tidak didukung dengan mitigasi risiko memadai.

Deretan Masalah

Pertama, tidak mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis. Kedua, tidak didukung dengan jaminan yang memadai, yaitu dokumen Parent Company Guarantee tidak dieksekusi oleh PT PGN dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG senilai Rp16,79 miliar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai uang muka yang diberikan.

Ketiga, tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat, karena pembelian gas kepada PT IAE yang bukan produsen gas. Keempat, tidak melalui analisis keuangan dan due dilligence yang memadai, yang ditunjukkan dengan nilai current liability PT IAE lebih besar dibandingkan current asset-nya.

"Akibatnya, sisa uang muka sebesar USD 14,19 juta berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan," tulis IHPS I-2023.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.