Sukses

Fed Perlu Pangkas Suku Bunga 5 Kali di 2024

Suku bunga kebijakan AS saat ini berada pada angka 5,25%-5,50%, tertinggi dalam 22 tahun terakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat menilai Federal Reserve (The Fed) perlu memangkas suku bunga setidaknya sebanyak lima kali di 2024 mendatang, untuk menghindari ekonomi AS masuk ke dalam resesi.

Salah satu pendiri dan mitra pengelola MBMG Group, Paul Gambles mengatakan bahwa The Fed berada di belakang kurva pemotongan suku bunga, dan untuk menghindari siklus pengetatan moneter yang ekstrem dan berlarut-larut, perlu melakukan setidaknya lima pemangkasan di 2024.

"Saya pikir kebijakan The Fed saat ini sangat terputus dari faktor ekonomi dan kenyataan, sehingga Anda tidak dapat membuat asumsi apa pun mengenai kapan The Fed akan bangkit dan mulai mencium besarnya kerusakan yang sebenarnya mereka timbulkan terhadap perekonomian," ujar Gambles, dikutip dari CNBC International, Selasa (5/12/2023).

Seperti diketahui, suku bunga kebijakan AS saat ini berada pada angka 5,25%-5,50%, tertinggi dalam 22 tahun terakhir.

Para pedagang sekarang memperkirakan pemotongan sebesar 25 basis poin pada awal Maret 2024, menurut CME FedWatch Tool.

Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan pada hari Jumat bahwa masih terlalu dini untuk menyatakan kemenangan atas inflasi, sehingga melemahkan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga tahun depan.

"Masih terlalu dini untuk menyimpulkan dengan yakin bahwa kita telah mencapai sikap yang cukup membatasi, atau berspekulasi mengenai kapan kebijakan akan dilonggarkan," ujar Powell dalam pernyataannya.

Data terbaru dari AS mengisyaratkan berkurangnya tekanan inflasi, namun Powell menekankan bahwa para pengambil kebijakan berencana untuk menjaga kebijakan suku bunga tetap ketat, sampai mereka yakin bahwa inflasi kembali ke target bank sentral 2 persen.

Pada Oktober 2023, inflasi AS tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, meningkatkan harapan bahwa siklus kenaikan suku bunga The Fed yang agresif mulai menurunkan inflasi.

Indeks harga konsumen Departemen Tenaga Kerja, yang mengukur sejumlah besar barang dan jasa yang umum digunakan, naik 3,2 persen pada bulan Oktober namun tetap datar dibandingkan bulan sebelumnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perkiraan Investor

Investor veteran David Roche mengatakan bahwa, kecuali ada guncangan eksternal yang besar terhadap inflasi AS dalam bentuk energi atau makanan, maka “hampir pasti” bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya, yang juga berarti pergerakan berikutnya akan turun.

“"Saya akan tetap pada 3 persen, yang menurut saya sudah tercermin dalam banyak harga aset. Saya rasa kita tidak akan lagi menekan inflasi hingga 2 persen. Hal ini terlalu melekat pada perekonomian dalam berbagai hal," kata Roche, presiden dan ahli strategi global di Independent Strategy.

"Bank sentral tidak perlu melakukan perlawanan sekeras sebelumnya. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang tertanam akan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya yaitu sebesar 3 persen bukan 2 persen," beber Roche, yang dengan tepat memperkirakan krisis Asia pada tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008.

Saat ini, pasar tengah menanti rencana suku bunga The Fed pada pertemuan berikutnya dan terakhir tahun ini pada 13 Desember mendatang.

3 dari 3 halaman

BI Ramal Pertumbuhan Ekonomi Global 2024 Makin Lesu

Bank Indonesia (BI) mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi global masih menunjukkan perlambatan dengan ketidakpastian yang masih tinggi.

"Secara keseluruhan, Bank Indonesia masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 sebesar 2,9% dan akan melambat menjadi 2,8% pada tahun 2024,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo. dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan November 2023, dikutip Kamis (23/11/2023).

Perry Warjiyo menyoroti ekonomi Amerika Serikat yang tumbuh kuat didorong oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik.

Sementara ekonomi Tiongkok sedikit membaik, didukung oleh komsumsi dan dampak stimulus kebijakan fiskal, meskipun masih dalam tren menurun.

"Inflasi di negara maju masih di atas target, dengan tekanan yang memang secara bertahap mulai mereda," ujarnya.

Suku Bunga The Fed

Dengan perkembangan inflasi ini, suku bunga kebijakan moneter termasuk Fed Fund Rate diperkirakan akan masih bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lama atau yang sering disebut higher for longer, jelas Perry Warjiyo.

Adapun Yield Obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS yaitu yield US Treasury yang naik tinggi karena premi risiko jangka panjang atau sering disebut dengan term premia terkait tingginya kebutuhan utang untuk pembiayaan fiskal di negara itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.