Sukses

Konflik Israel vs Palestina Jadi Biang Kerok BI Kerek Suku Bunga Acuan ke 6 Persen?

Langkah BI menaikkan suku bunga merupakan keputusan yang pas mengingat banyaknya ketidakpastian di luar yang potensi mengerek angka inflasi. Termasuk adanya konflik antara Israel vs Palestina yang semakin menggegerkan.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Kebijakan ini sedikit di luar dugaan, lantaran bank sentral telah menahan suku bunga acuannya selama 8 bulan beruntun.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, kebijakan menaikkan suku bunga acuan ini untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.

Mengingat, situasi ini justru menguntungkan mata uang Dolar Amerika (AS) yang justru mengalami tren penguatan terhadap mata uang dunia, termasuk Rupiah.

Selain itu, keputusan ini sebagai konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali. Pemerintah menargetkan inflasi tahun 2023 dan 2024 dalam kisaran sasaran 3,0 plus minus 1 persen.

Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengamini hal tersebut. Menurutnya, itu merupakan keputusan yang pas mengingat banyaknya ketidakpastian di luar yang potensi mengerek angka inflasi. Termasuk adanya konflik antara Israel vs Palestina yang semakin menggegerkan.

"BI berpendapat bahwa kenaikan BI7DRR di Oktober 2023 sebagai langkah pre-emptif untuk memitigasi dampak inflasi, yang disebabkan oleh ketidakpastian besar," ujar Josua dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Kamis (19/10/2023).

Josua menilai, ada lima dinamika baru ketidakpastian global yang memicu kekhawatiran bank sentral. Pertama, ekonomi global rentan melemah, dimana selisih pertumbuhan antar negara cenderung melebar, sebelum akhirnya bisa stabil lagi di 2026.

"Kedua, tensi geopolitik di Timur Tengah dan El Nino bakal mendorong harga pangan dan energi, meningkatkan risiko inflasi global," kata Josua.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kebijakan The Fed

Alasan berikutnya, suku bunga acuan The Fed alias Fed Fund Rate (FFR) punya peluang 40 persen untuk kembali naik pada Desember 2023 mendatang. Kebijakan itu pun diprediksi akan dijaga tinggi hingga pertengahan 2024 nanti.

Selanjutnya, lonjakan imbal hasil obligasi global pun tidak hanya terjadi untuk obligasi jangka pendek, tapi yield obligasi jangka panjang juga semakin meningkat lantaran utang pemerintah di negara-negara maju semakin menguat.

"Kelima, aliran modal ke negara berkembang terhambat dan dana cenderung berpindah ke negara maju, dimana uang tunai adalah rajanya. BI juga menegaskan bahwa meskipun kebijakan moneter masih pro-stabilitas, kebijakan makroprudensial masih cenderung pro-pertumbuhan," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Suku Bunga BI Naik jadi 6% di Oktober 2023

Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin menjadi 6 persen dari sebelumnya sebesar 5,75 persen.

"Rapat RDG Bank Indonesia pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).

Sama halnya dengan BI7DRR, suku bunga Deposit Facility juga dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen dari sebelumnya 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75 persen dari sebelumnya 6,50 persen.

 Perry menegaskan, kenaikan tersebut untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ktidakpastian global, sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.

"Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1 persen pada sisa tahun 2023 dan 2,5±1 persen pada 2024," ujarnya.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan efektivitas implementasi kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial untuk mendorong kredit pembiayaan lebih lanjut bagi pertumbuhan ekonomi nasioanl.

Demikian pula, digitalisasi sistem pembayaran terus ditingkatkan untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk digitalisasi transaksi keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini