Sukses

Predatory Pricing di Social Commerce Bikin Ngeri, Industri Tekstil Jawa Barat Terancam Gulung Tikar

KemenKopUKM: Pelaku usaha tekstil di Jabar terancam berhenti produksi akibat predatory pricing di TikTok Shop. Permintaan menurun drastis, PHK terjadi. MenKopUKM akan membenahi masalah ini. HPP khusus diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menyebut, para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi, imbas praktik predatory pricing di platform social commerce seperti TikTok Shop dan lainnya.

Praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan, sehingga menekan omzet bahkan berdampak pada penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.

Sebagai informasi, predatory pricing merupakan strategi penetapan harga produk di bawah harga modal agar bisa bertahan dalam persaingan usaha.

Dalam kunjungannya ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki, menyaksikan secara langsung kondisi terkini pabrik dan menerima keluhan beberapa pelaku UKM tekstil di Kabupaten Bandung.

Di kabupaten Bandung, Kecamatan Majalaya, Jawa Barat merupakan kawasan yang penduduknya menjalani usaha pertekstilan pada hari biasa ramai aktivitas produksi. Namun sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.

"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," kata Teten Masduki dalam kunjungan ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, Senin (25/9/2023).

Dalam kunjungan tersebut, MenkopUKM juga berdiskusi dengan sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga di Bawah HPP

Menteri Teten mengatakan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.

"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata MenKopUKM.

Menurut MenKopUKM, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, Pemerintah berupaya untuk membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.

"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya. Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Teten.

 

3 dari 3 halaman

Jalan Keluar

Disisi lain, MenKopUKM juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.

"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.