Sukses

Tren Penurunan Harga Komoditas Tak Terbendung, CPO Anjlok 60 Persen dan Gas 34 persen

Penurunan harga komoditas yang paling besar adalah komoditas CPO yakni sebesar 60 persen, kemudian gas 34 persen penurunannya, dan minyak bumi rata-rata sudah turun 9,3 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa harga komoditas energi dan pangan secara global melanjutkan tren penurunan. Komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain gas, batu bara, minyak bumi, CPO, gandum, kedelai, hingga jagung.

"Harga komoditas terutama energi dan pangan melanjutkan tren penurunan harga-harga. Semuanya mengalami koreksi tren penurunan, " kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers: APBN KITA Mei 2023, Senin (22/5/2023).

Menkeu mencatat, penurunan harga komoditas yang paling besar adalah komoditas CPO yakni sebesar 60 persen, kemudian gas 34 persen penurunannya, dan minyak bumi rata-rata sudah turun 9,3 persen.

Penurunan harga energi dan pangan rupanya berdampak pada inflasi di berbagai negara yang turut mengalami penurunan. Artinya penurunan tersebut merupakan hal yang positif. Dengan demikian di berbagai negara kenaikan suku bunga sudah mulai mencapai puncaknya.

"Karena sebagian dari tingkat suku bunga acuan atau policy ratenya di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan bahkan yang lebih ekstrim Brazil dan Meksiko policy ratenya sudah jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi yang sudah mulai mengalami penurunan," jelas Menkeu.

Kata Menkeu, berarti respon kebijakan moneter diharapkan sudah mulai mengalami pelandaian atau peningkatan suku bunga tidak akan meningkat seterusnya, namun posisinya tetap tinggi.

Indeks PMI 

Maka, dengan kenaikan suku bunga yang ekstrim di berbagai negara tersebut berdampak pada pelemahan ekonomi, dilihat dari kinerja Purchasing Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur global yang mengalami kontraksi selama 8 bulan berturut-turut.

Menkeu mencatat, mayoritas 52 negara yang diobservasi semuanya mengalami kontraksi, misalnya Jepang, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Eropa, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Korea Selatan.

"13 persen dari negara yang dilakukan observasi mengalami ekspansi diatas 50 namun melambat seperti Rusia, Singapura, dan Filipina," ujarnya.

Lebih lanjut, kata Menkeu, hanya 34,8 persen dari negara yang diobservasi mengalami ekspansi di atas 50 dan akselerasi naik dibandingkan bulan sebelumnya, dalam kategori ini diantaranya Indonesia, India, Thailand, Turki, Kanada, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Meksiko.

"Dalam hal ini 8 bulan berturut-turut PMI global mengalami kontraksi, 13 persen atau beberapa negara mengalami ekspansi namun melambat, Indonesia termasuk dalam 34 persen yang ekspansi dan akselerasi, ini menggambarkan posisi Indonesia yang resilience terhadap kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dari berbagai negara dan bahkan di Indonesia, dan kita masih bertahan. Ini hal positif yang kita jaga," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga Komoditas Melemah, Pertumbuhan Ekonomi RI Terancam?

Sebelumnya, Badan  Pusat Statistik (BPS) mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai lemahnya harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Mengingat kenaikan harga komoditas ini menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh gagah di level 5,31 persen (yoy). 

Menanggapi itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan pelemahan harga komoditas terjadi karena musim dingin yang terjadi tidak terlalu ekstrem. Akibatnya kenaikan harga energi tetap stabil dari sebelumnya yang diprediksi mengalami lonjakan. 

“Pada musim dingin ini cuacanya tidak ekstrem, artinya yang dikhawatirkan kenaikan energi tidak setinggi yang diperkirakan. Sehingga harganya relatif stabil,” kata Menko Airlangga dalam konferensi pers, Jakarta, Senin (6/2/2023). 

Dia mengatakan landainya harga komoditas ini masih pada batas yang tinggi jika dibandingkan dengan harga komoditas sebelum pandemi Covid-19. Artinya harga komoditas saat ini masih tinggi dan memberikan banyak keuntungan bagi ekonomi domestik. 

“Harga komoditas memang melandai tapi ini tidak dalam kondisi normal tapi relatif tinggi,” ungkap Airlangga. 

Dia pun mencontohkan harga cooper dan emas yang masih tinggi di pasar global. Sehingga diperkirakan sampai 6 bulan kedepan harga komoditas akan tetap tinggi. 

“Dari harga copper dan gold ini sudah naik USD 1.900 per troy ons dan sampai 6 bulan kedepan seperti pandemi ,” kata dia. 

3 dari 3 halaman

Permintaan Terganggu

Selain itu, kondisi permintaan dan kebutuhan barang masih terganggu. Gas sebagai salah satu sumber energi belum bisa sepenuhnya tergantikan dengan energi hijau dalam waktu dekat. 

“Begitu juga dengan harga gas, tidak ada pengganti energi yang bisa beralih dengan cepat,” kata dia. 

Termasuk juga tekanan geopolitik antara Ukraina dan Rusia masih belum menemukan titik terang. Sehingga selama perang belum berakhir, kondisi suplai energi masih akan terganggu dan membuat harganya masih tinggi. 

“Beberapa kondisi terkait suplai green atau suplai dari Rusia selama ini belum masuk ke pasar global, dalam situasi ini harga komoditas Indonesia akan tetap tinggi meski tidak setinggi di tahun 2022,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.