Sukses

Meta Dibayangi Denda Rp 6,4 Triliun, Dituding Langgar Data di Eropa

Irish Data Protection Commission mengklaim bahwa cara Meta meminta izin menggunakan data orang untuk iklan di Facebook dan Instagram merupakan pelanggaran hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan induk Facebook, Meta menghadapi denda sebesar €390 juta euro atau sekitar Rp 6,4 triliun terkait pelanggaran aturan data Uni Eropa.

Dilansir dari BBC, Kamis (5/1/2023) Irish Data Protection Commission (DPC) mengklaim bahwa cara Meta meminta izin menggunakan data orang untuk iklan di Facebook dan Instagram merupakan pelanggaran hukum.

Sebagai informasi, karena Facebook dan Instagram memiliki kantor pusat Eropa di Irlandia, DPC bertugas memimpin dalam memastikan platform tersebut mematuhi undang-undang data Uni Eropa.

Meta, yang memiliki kedua platform media sosial tersebut, diberikan waktu tiga bulan untuk mengubah cara memperoleh dan menggunakan data untuk menargetkan iklan

Regulator menegaskan bahwa Facebook dan Instagram tidak dapat "memaksa persetujuan" dengan mengatakan konsumen harus menerima bagaimana data mereka digunakan, atau meninggalkan platform.

Ini menandai kedua kalinya Meta menghadapi hukuman denda yang dijatuhkan oleh pengawas data dalam beberapa bulan terakhir.

Sejumlah juru kampanye privasi menyebut denda itu sebagai awal perubahan besar, dan dorongan untuk Meta agar mengubah pilihan kepada pengguna tentang bagaimana data mereka digunakan untuk menargetkan iklan online.

Sementara itu, pihak Meta mengatakan akan mengajukan banding. Perusahaan juga menekankan bahwa keputusan tersebut tidak mencegah iklan yang dipersonalisasi di platformnya.

Diketahui, sebagian besar penghasilan Meta sebesar lebih dari USD 118 miliar pada tahun 2021 berasal dari iklan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Berawal dari Keluhan Pengguna di Austria dan Belgia

Investigasi DPC dipicu oleh keluhan pada tahun 2018 oleh juru kampanye privasi Max Schrems, atas nama dua pengguna di Austria dan Belgia.

Keluhan itu diajukan ketika undang-undang data dan privasi UE yang baru, General Data Protection Regulation (GDPR), mulai berlaku.

Untuk mematuhi GDPR, Facebook dan Instagram meminta pengguna untuk mengklik "Saya setuju" yang menunjukkan bahwa mereka setuju untuk memperbarui persyaratan layanan yang mengatur bagaimana data mereka akan digunakan dalam iklan.

Jika pengguna tidak menerima, mereka tidak dapat menggunakan Facebook atau Instagram.

Tetapi pengadu berpendapat bahwa aturan itu menandai pemaksaan dari Meta untuk menyetujui data mereka digunakan dalam iklan bertarget. Hal tersebut dianggap melanggar undang-undang data GDPR.

Perwakilan Meta, sementara itu, menjelaskan bahwa Facebook dan Instagram "secara inheren dipersonalisasi" dan bahwa, sebagai bagian dari personalisasi itu, iklan bertarget merupakan bagian penting dari cara kerja platform.

Mereka mengatakan Meta tidak memberikan ultimatum kepada pengguna, dan platform tidak dapat bekerja tanpa menggunakan data untuk iklan.

Tetapi DPC kembali menegaskan bukan itu masalahnya, dan pengguna dipaksa untuk menyetujui.

DPC menyebut, bahwa Meta tidak cukup jelas dengan pengguna tentang cara menggunakan data pribadi mereka dan alasannya.

 

3 dari 4 halaman

Meta, Induk Usaha Facebook Rela Bayar USD 725 Juta Demi Berdamai Kasus Gugatan Privasi Data

Induk Facebook setuju membayar USD 725 juta demi menyelesaikan gugatan class action yang menuding raksasa media sosial tersebut memberikan akses data pengguna tanpa persetujuan mereka ke pihak ketiga.

"Ini adalah upaya pemulihan terbesar yang pernah dicapai dalam tindakan kelas privasi data dan paling banyak yang pernah dibayarkan Facebook untuk menyelesaikan tindakan kelas pribadi," ujar Keller Rohrback L.L.P, firma hukum yang mewakili penggugat, melansir laman CNBC, Sabtu (23/12/2022).

Gugatan class action diajukan pada tahun 2018 setelah Facebook mengungkapkan bahwa informasi 87 juta pengguna dibagikan secara tidak benar dengan Cambridge Analytica. Ini sebuah perusahaan konsultan yang terkait dengan kampanye pemilihan mantan Presiden Donald Trump tahun 2016.

Kasus ini kemudian meluas pada praktik berbagi data Facebook secara keseluruhan. Penggugat menuduh bahwa Facebook memberikan akses ke konten dan informasi Facebook mereka tanpa persetujuan banyak pihak ketiga.

"Facebook gagal memantau secara memadai akses pihak ketiga ke, dan penggunaan, informasi itu," menurut firma hukum di balik gugatan tersebut.

Hakim yang mengawasi kasus di Distrik Utara California sekarang harus menyetujui penyelesaian tersebut.

“Kami mengejar penyelesaian karena itu demi kepentingan terbaik komunitas dan pemegang saham kami. Selama tiga tahun terakhir kami mengubah pendekatan kami terhadap privasi dan menerapkan program privasi yang komprehensif, ” kata juru bicara Meta kepada CNBC.

Namun perusahaan tidak mengakui kesalahan sebagai bagian dari penyelesaian.

4 dari 4 halaman

Kasus Cambridge Analytica

Seperti diketahui, kasus Cambridge Analytica memicu kemarahan global dan regulator di seluruh dunia untuk meneliti praktik data Facebook.

Setelah pengungkapan tersebut, Komisi Perdagangan Federal AS membuka penyelidikan ke Facebook atas kekhawatiran bahwa perusahaan media sosial tersebut telah melanggar ketentuan perjanjian sebelumnya dengan agensi tersebut, yang mengharuskannya untuk memberikan pemberitahuan yang jelas kepada pengguna ketika data mereka dibagikan dengan pihak ketiga. .

Facebook pada 2019 menyetujui penyelesaian kasus dengan FTC yang nilainya mencetak rekor hingga USD 5 miliar.

Facebook juga setuju untuk membayar USD 100 juta untuk menyelesaikan kasus pada waktu yang hampir bersamaan dengan Komisi Sekuritas dan Bursa AS atas tuduhan perusahaan membuat pengungkapan yang menyesatkan tentang risiko penyalahgunaan data pengguna.

Cambridge Analytica, yang ditutup setelah tuduhan kontroversial pada 2018. Di mana mengambil data dari Facebook digunakan sebagai informasi kampanye politik.

Pada tahun 2018, Channel 4 News Inggris memfilmkan eksekutif Cambridge Analytica yang menyarankan bahwa perusahaan tersebut menggunakan pekerja seks, suap, mantan mata-mata, dan berita palsu untuk membantu kandidat memenangkan suara di seluruh dunia.

Sejak kasus itu, Facebook mengubah namanya menjadi Meta untuk mencerminkan ambisinya yang berkembang untuk menjadi pemimpin di metaverse, sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk ke dunia maya. Facebook, masih menjadi salah satu perusahaan media sosial terbesar di dunia, dijalankan oleh Meta.

Tetapi Facebook telah melihat perlambatan pertumbuhan karena melambatnya pasar periklanan, perubahan aturan privasi iOS Apple dan meningkatnya persaingan dari TikTok.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.