Sukses

Kebijakan Covid-19 Tak Kunjung Longgar, 1.800 Perusahaan Eropa Bingung Berbisnis di China

Kebijakan nol-Covid-19 yang ketat melumpuhkan operasi 75 persen bisnis Eropa di China.

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang Uni Eropa mengungkapkan bahwa kebijakan nol-Covid-19 melumpuhkan operasi bisnis Eropa di China.

Dilansir dari The Straits Times, Senin (26/9/2022) Kamar Dagang UE di China, yang mencakup lebih dari 1.800 perusahaan Eropa di negara itu, mengatakan dalam sebuah laporan bahwa kebijakan nol-Covid-19 dan ketidakpastian berdampak negatif pada 75 persen operasi anggotanya.

"Lingkungan bisnis China masih tidak dapat diprediksi selama ada ancaman lockdown," kata organisasi itu.

Kamar Dagang UE menambahkan bahwa situasi tersebut telah mendorong hampir seperempat perusahaan untuk mempertimbangkan mengalihkan investasi saat ini atau yang direncanakan ke China, persentase tertinggi dalam dekade terakhir.

Terlepas dari potensi pertumbuhan China yang signifikan, "tingkat keterlibatan perusahaan-perusahaan Eropa tidak dapat lagi diterima begitu saja", kata laporan itu.

China pada Juni 2022 mengurangi waktu karantina bagi pelancong yang datang dari 21 menjadi 10 hari, tetapi kurangnya penerbangan dan harga tiket yang tinggi tetap menjadi kendala utama untuk bepergian.

Penutupan perbatasan China sejak 2020 juga mempercepat eksodus WNA dari Eropa dan membuat mereka yang masih berada di negara itu terisolasi, menurut laporan Kamar Dagang UE.

Jika Beijing terus bertahan dengan kebijakan tersebut, "lingkungan bisnis akan terus menjadi lebih menantang", sebut Kamar Dagang UE.

Dalam kata pengantar laporan tersebut, Presiden Kamar Eropa Joerg Wuttke menulis bahwa "seluruh dunia sebagian besar telah melanjutkan tingkat 'normalitas' pra-pandemi, tetapi China tetap enggan untuk membuka pintunya".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kebijakan Ketat Covid-19 Bikin Pengusaha Eropa Mulai Pikir Ulang Berbisnis di China

Sebelumnya, Kamar Dagang UE mengatakan sedang mengevaluasi kembali rencana pasar mereka setelah kebijakan Covid-19 di negara itu semakin ketat.

Hal itu diungkapkan langsung Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, Joerg Wuttke. "Untuk bisnis Eropa, kami berbicara tentang penyesuaian kembali pandangan kami tentang China selama enam bulan terakhir," kata Wuttke dikutip dari CNBC International, Rabu (21/9/2022). 

Dia menyebutkan bahwa lockdown Covid-19 dan ketidakpastian untuk bisnis telah mengubah China menjadi negara "tertutup" dan "sangat berbeda" yang mungkin mendorong perusahaan untuk meninggalkan negara itu.

"Saya telah berada di sini selama 40 tahun dan saya belum pernah melihat situasi yang seperti ini, di mana tiba-tiba pengambilan keputusan ideologis lebih penting daripada pengambilan keputusan ekonomi," ujar Wuttke, dalam sebuah briefing terkait laporan tahunan Kamar Dagang UE di China.

Sejauh ini, sebagian besar perusahaan Eropa belum meninggalkan China, namun sudah ada beberapa.

Tetapi Wuttke mengatakan bahwa Kamar Dagang UE tidak dapat mensurvei bisnis yang memutuskan untuk tidak memasuki China sama sekali.

Investasi asing langsung dari UE ke China turun 11,8 persen pada tahun 2020 dari tahun sebelumnya, menurut laporan Kamar Dagang UE.

"Sementara masih ada 'sekelompok perusahaan multinasional profil tinggi terpilih yang siap menghasilkan miliaran dolar,' tren penurunan FDI tidak mungkin berbalik sementara eksekutif Eropa sangat dibatasi untuk bepergian ke dan dari China untuk mengembangkan proyek potensial," demikian laporan Kamar Dagang UE.

Seperti diketahui, kebijakan ketat Covid-19 di China telah membatasi perjalanan internasional, dan aktivitas bisnis – terutama setelah lockdown dua bulan tahun ini di Shanghai.

3 dari 3 halaman

Goldman Sachs Pangkas Lagi Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China Gara- gara Lockdown Covid-19

Goldman Sachs memangkas tajam perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun 2023. Bank investasi ternama asal Amerika Serikat itu memprediksi Beijing akan tetap memberlakukan kebijakan nol Covid-19 setidaknya hingga paruh pertama tahun depan.

Dilansir dari The Straits Times, Jumat (23/9/2022) ekonom Goldman dalam sebuah catatan mengatakan bahwa produk domestik bruto (PDB) China mungkin akan naik 4,5 persen pada 2023, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3 persen.

Sementara itu, Goldman Sachs tidak merubah prediksi ekspansi ekonomi China sebesar 3 persen pada tahun 2022 ini.

Goldman Sachs memperkirakan, China kemungkinan belum membuka kembali perbatasan sebelum kuartal kedua 2023 karena pertama-tama akan mencoba dan memastikan tingkat vaksinasi bagi masyarakat lansia, pembuatan obat Covid-19 yang murah dan efektif serta kondisi lainnya.

"China kemungkinan akan mengalami lonjakan infeksi pada pembukaan kembali penuh mengingat kurangnya kekebalan yang disebabkan oleh infeksi dan penularan Omicron yang tinggi," kata para ekonom Goldman Sachs.

"Oleh karena itu, kami memperkirakan hambatan moderat pada pertumbuhan dalam tiga bulan pertama pembukaan kembali diikuti oleh pemulihan tajam setelahnya," lanjut mereka.

Sedangkan di pasar properti, Goldman Sachs juga menyebut masih adanya penurunan yang dapat berdampak pada PDB China.

"Kami terus memperkirakan hambatan yang cukup besar dari sektor properti ke pertumbuhan PDB tahun ini dan seterusnya," ungkap para ekonom Goldman Sachs.

Seperti diketahui, sejumlah analis terus menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun ini dan berikutnya karena prospek ekonomi dibayangi oleh lockdown berkepanjangan untuk meredam penularan Covid-19. Masalah itu disertai dengan krisis properti dan ekspor yang melambat. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.