Sukses

Kalah Gugatan di WTO, Pemerintah Buka Opsi Tarik Pajak Nikel

Pemerintah memiliki beberapa opsi merespons hasil putusan WTO. Pertama, menempuh langkah banding atas putusan WTO yang memenangkan Uni Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kalah dalam melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization /WTO). Pemerintah memastikan akan mengajukan banding akan hal ini. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pantang menyerah menanggapi kekalahan ini. Ia memastikan bahwa Indonesia akan melawan sampai titik darah penghabisan.

"Sekali lagi, meskipun kita kalah di WTO, kalah kita urusan nikel ini digugat oleh Uni Eropa dibawa ke WTO kita kalah, enggak apa-apa. Kalah saya sampaikan ke menteri, banding," tegas Jokowi pada, Rabu (30/11/2022).

Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menambahkan, pemerintah memiliki beberapa opsi merespons hasil putusan WTO. Pertama, menempuh langkah banding atas putusan WTO yang memenangkan Uni Eropa.

"Kita kalah di tahap pertama, dan instruksi presiden jelas hadapi dan lawan," katanya di Istana Kepresidenan, dikutip dari Belasting.id, Rabu (30/11/2022).

Bahlil melanjutkan langkah banding menjadi strategi pertama pemerintah menyikapi hasil putusan WTO. Selanjutnya, masih ada beberapa opsi yang bisa ditempuh, salah satunya melalui kebijakan fiskal.

Menurutnya, pemerintah bisa saja membuka opsi untuk menerapkan atau meningkatkan beban pajak ekspor untuk ekspor sumber daya alam dalam bentuk bahan mentah.

Dia menegaskan kebijakan fiskal khususnya pajak sepenuhnya menjadi kedaulatan Indonesia. Kemudian masih ada langkah lain yang berpotensi ditempuh selain menerapkan kebijakan pajak.

"Mungkin salah satunya pajak ekspor, jadi ini kan main di instrumen. Pajak ekspor bisa kita naikkan dan itu kewenangan kita dong," ulasnya.

Bahlil menambahkan upaya hilirisasi SDA tidak akan berhenti dengan ganjalan gugatan melalui WTO. Menurutnya, pemerintah memiliki kepentingan besar melakukan hilirisasi untuk menciptakan lebih banyak nilai tambah di dalam negeri dibandingkan terus-menerus mengekspor bahan mentah.

"Arena hilirisasi adalah sebuah kewajiban dalam rangka bergerak dari negara berkembang menjadi negara maju dan bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita dari US$4.500 saat ini menjadi US$10.000," tambah Bahlil.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemerintah Didukung Hadapi Kebijakan Global soal Nikel

Putusan panel World Trade Organization (WTO) menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor nikel. Sebelumnya hal itu sempat disengketakan oleh Uni Eropa melalui Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB).

Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Fajar Hasan mengatakan, putusan WTO tersebut harus dilawan. Sebab, putusan WTO berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.

“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali Kran ekspor nikel. Ini berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara ini, melalui keterangan tertulis, Senin(28/11/2022).

Fajar meyakini, hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat, efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah. Misalnya, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat.

“Ini fakta statistik dan empirik bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO," ungkap Fajar Hasan.

 

3 dari 3 halaman

Kebijakan Nasional

Selain itu, pria yang juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini mengatakan, kebijakan hilirisasi pengelolaan nikel di dalam negeri merupakan kebijakan nasional, dengan tujuan untuk melindungi sumber daya alam, agar pengelolaan dan pemanfatannya di dalam negeri.

“Negara lain atau badan dunia, tidak boleh mengintervensi kebijakan nasional negara lain (termasuk Indonesia). Jika hal itu dilakukan, secara tegas dapat kita katakan bahwa Uni Eropa dan WTO telah mencampuri urusan dalam negeri kita, mengganggu kedaulatan hukum Indonesia,” tegas dia.

Fajar mewanti, Uni Eropa dan WTO harus menghormati rambu-rambu diplomatik dan yuridiksi suatu negara. Hal itu dilakukan sebagai prinsip dasar hubungan antarnegara atau badan-badan internasional.

“Ya, kami dukung pemerintah untuk melakukan banding atas putusan WTO tersebut," dia menandasi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.