Sukses

Defisit APBN Capai Rp 764,9 Triliun hingga Akhir Oktober 2020

Dalam Perpres 72 Tahun 2020 defisit APBN diizinkan hingga mencapai Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (defisit APBN) hingga Oktober 2020 mencapai Rp 764,9 triliun. Jumlah tersebut sebesar 4,67 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit hingga Oktober 2020 ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp 289,2 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, defisit ini terjadi akibat penerimaan negara tak sebanding dengan belanja pemerintah. Di mana pendapatan negara hanya Rp 1.276,9 triliun, sedangkan posisi belanja pemerintah meningkat mencapai Rp 2.041,9 triliun seiring dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional.

"Defisit APBN kita mencapai Rp 764,9 triliun atau 4,67 persen dari GDP," kata dia dalam APBN Kita, di Jakarta, Senin (23/11/2020).

Pendapatan negara hingga akhir Oktober 2020 adalah 75,1 persen, atau Rp 1.276,9 triliun dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.699,9 triliun. Dibandingkan tahun lalu, total pendapatan ini mengalami penurunan 15,4 persen.

Bendahara Negara ini merincikan, penerimaan negara yang mencapai Rp 1.276,9 triliun tersebut berasal dari pajak sebesar Rp 991,0 triliun, PNBP Rp 278,8 triliun, sedangkan hibah sebesar Rp 7,1 triliun.

Sedangkan untuk belanja negara yang mencapai Rp 2.041,8 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat yang terdiri dari kementerian/lembaga (K/L) dan belanja non K/L sebesar Rp 1.343,8 triliun, dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 698 triliun.

Dengan realisasi tersebut, maka defisit anggaran APBN 2020 hingga Oktober 2020 tercatat 4,67 persen atau setara Rp 764,9 triliun terhadap PDB. Adapun dalam Perpres 72 Tahun 2020 defisit APBN diizinkan hingga mencapai Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34 persen.

"Perpres kita menggambarkan keseluruhan tahun defisit APBN diperkirakan akan mencapai Rp 1.039 triliun atau 6,34 dari GDP," ucapnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Defisit APBN Indonesia Melebar 6,34 Persen, Bagaimana Negara Lain?

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut seluruh negara di dunia termasuk Indonesia telah menggunakan instrumen APBN dan fiskal untuk menjaga kestabilan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Utamanya dalam meningkatkan belanja, penanganan kesehatan, membantu dunia usaha dan masyarakat.

Namun pada saat yang sama penerimaan pajak di negara-negara dunia telah mengalami penurunan yang luar biasa. Sehingga, memaksa negara-negara mebuat kebijakan dengan memperlebar defisit.

"Oleh karena itu, kalau kita lihat defisit financing dari seluruh negara-negara ini mereka melonjak luar biasa besar. Dari kuartal I ke kuartal II dari tahun 2019 ke tahun 2020 maupun dari forecast-nya," kata Sri Mulyani dalam acara Capital Market Summit & Expo 2020, Senin (19/10/2020).

Indonesia sendiri pada awalnya merencanakan defisit APBN 2020 hanya sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah dalam lima tahun terakhir. Namun demikian, upaya penanganan Covid-19 beserta dampaknya mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pelebaran defisit sampai dengan 6,34 persen dari PDB.

Namun, pelebaran defisit di Tanah Air dirasa masih cukup kecil dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Misalnya saja di Inggris, Spanyol, Francis, Italia defisitnya bahkan mencapai di atas 11 persen.

"Kalau kita lihat untuk tahun depan pun mereka mungkin masih mengalami defisit yang besar," katanya.

Tak hanya itu, negara-negara sekitar Indonesia juga membuat kebijakan dalam melebarkan defisitnya. Seperti Malaysia 6,5 persen, Filipina 7,6 persen, Singapura 13,5 persen dan Thailand 6,0 persen.

"Ini menggambarkan bahwa seluruh dunia menggunakan instrumen yang ada dalam kewenangan pemerintah meskipun fiscal space dan fiscal health nya masing-masing negara berbeda," katanya.

"Sehingga kemampuan mereka melakukan ekspansi fiskalnya kemudian harus konsolidasi akan bergantung pada kondisi awal fiskal mereka dan juga percepatan pemulihan ekonominya," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.