Sukses

Resesi di Depan Mata, Apa Dampaknya ke Ekonomi Indonesia?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 minus 3 persen yang artinya Indonesia masuk jurang resesi.

Liputan6.com, Jakarta - Jelang pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020, sejumlah pihak angkat bicara. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 minus 3 persen.

Jika mengacu apa yang disampaikan Jokowi, maka indonesia dipastikan resesi. Sebab mengalami penurunan PDB dalam dua kuartal berturut-turut. Sebelumnya, pada kuartal II-2020, ekonomi Indonesia tercatat minus 5,23 persen.

Senada dengan Jokowi, Ekonom Senior PIter Abdullah mengatakan, meski pertumbuhan ekkonomi kuartal III-2020 diperkirakan minus, angka tersebut kauh lebih baik dibandingkan pada kuartal II-2020.

“Pertumbuhan ekonomi kuartal III saya perkirakan kembali minus di kisaran -3 persen. Tetap minus, tetapi lebih baik dibandingkan kuartal II,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (3/11/2020).

Lebih lanjut, Piter mengatakan bahwa resesi bagi Indonesi aanya stempel saja. Hal ini lantaran selama pandmei covid-10 belangsung di Indonesia, dampaknya sudah terasa. Seperti pengangguran dan kemiskinan. Sehingga, jika secara teknik resesi baru akan terjadi saat ekonomi kuartal III-2020 dinyatakan negatif, maka keadaannya tak jauh berbreda dari saat ini.

“Menurut saya, resesi tidak berdampak kedepan. Karena kejadian ya sudah berlalu. Perekonomian kita kedepan lebih dipengaruhi oleh kondisi kita di waktu yang akan datang, khususnya terkait pandemi,” kata Piter.

Menurutnya, meski terjadi resesi namun jika pendemi dapat segera ditangani, maka perekonomian kuartal IV-2020 akan jauh lebih baik.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Indonesia Resesi, Rizal Ramli Sebut Tim Ekonomi Jokowi Tak Punya Terobosan

Ekonom senior Rizal Ramli turut mengomentari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 yang diperkirakan masih negatif dan membuat Indonesia resmi terkena resesi. Menurutnya, itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Pasalnya, sejak awal tim ekonomi tidak memiliki terobosan dalam membangkitkan perekonomian yang tengah terpuruk.

"Tidak ada surprise sudah diperkirakan sejak awal tahun 2020 karena kebijakan ekonomi super-konservatif dan neoliberal yang sudah gagal. Pertanyaan yang lebih penting, apa yang akan dilakukan Jokowi, mengulangi cara yang sama yang telah berulang gagal? Atau ubah strategi dan pecat Menteri Neoliberal dan KKN?" ujar Rizal Ramli dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).

Rizal sendiri telah menyatakan, perekonomian Indonesia sudah masuk dalam resesi sejak kuartal II tahun 2020. Penilaian Menko Ekuin pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu didasarkan pada rumusan yang lazim di dunia internasional.

Menurutnya, hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen sudah mengalami kontraksi 2 persen dibandingkan dengan kuartal IV 2019 yang tumbuh 4,97 persen.

"Kemudian pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi terkontraksi -5,32 persen atau minus 4,19 persen ketimbang kuartal I 2020. Kalau berdasarkan rumusan dunia internasional bila ekonomi terus merosot selama dua kuartal ya berarti resesi," tutur Rizal.

Terkait resesi, sambung Rizal Ramli, sebenarnya sejak tahun lalu sudah banyak indikator yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia melemah terlepas ada atau tidaknya pandemi Covid-19.

"Sejak satu setengah tahun yang lalu, kami sudah ingatkan bahwa ada indikator-indikator yang menunjukkan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan baik secara makro eknomi dengan menggunakan indikator misalnya trade surplusnya makin mengecil," kata Rizal Ramli.

Indikator lain yang menunjukkan ekonomi Indonesia melemah adalah transaksi berjalan defisitnya semakin lebar. Kemudian primary balance yang negatif, artinya untuk bayar bunga bank saja Indonesia harus utang.

"Kalau primary balance-nya positif itu tidak, tapi kalau satu negara hanya untuk bayar utang juga mesti ngutang itu negatif primary balance-nya dan ini adalah faktor perlambatan ekonomi," ujar Rizal Ramli.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.