Sukses

Daftar Alasan yang Membuat Ibu Kota Harus Pindah ke Luar Jawa

Berpindahnya ibu kota akan membantu pembangunan infrastruktur di wilayah lain yang kini tengah diusung pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta terus bergaung sejak pemerintah menggelar rapat terbatas (ratas) yang dilakukan di Kantor Presiden pada Senin kemarin. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan agar pusat pemerintahan bisa ditempatkan di luar Jawa.

Lantas, apa urgensi pembangunan ibu kota baru ini?

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menuturkan, ada banyak pertimbangan kenapa ibu kota harus dipindahkan dari Jakarta. Salah satunya terkait faktor daya dukung.

"Banyak sekali, jadi itu salah satunya daya dukung Jakarta. Bukan hanya kemacetan atau banjir, enggak, tapi daya dukungnya sendiri," ungkap dia di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Kemudian, ia melanjutkan, faktor persebaran penduduk juga turut menjadi salah satu pertimbangan utama. "Penduduk di Jawa ini kan 57 persen (dari total penduduk Indonesia), di Sumatera 21 persen. Jadi untuk penyebaran juga," sambungnya.

Faktor berikutnya, yakni pemerataan pembangunan di Nusantara. Dia menyatakan, berpindahnya ibu kota akan membantu pembangunan infrastruktur di wilayah lain yang kini tengah diusung pemerintah.

Saat ditanya lebih lanjut, Menteri Basuki menyebutkan, pemerintah akan memproyeksikan untuk membangun kota mandiri baru untuk dijadikan ibu kota, bukan memindahkannya. "Iya, buat kota baru," tandasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Andalkan APBN, Ini Sumber Dana Pemindahan Ibu Kota

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam proses pemindahan ibu kota negara akan diminimalkan.

Menurut dia, APBN hanya akan dipakai untuk membiayai infrastruktur dasar yang proyeknya tidak bisa dikerjakan swasta atau pihak lainnya.

"Dari segi pembiayaan, kita tidak akan menggunakan APBN. Kalaupun pakai, akan diminimalkan jumlahnya untuk membiayai infrastruktur dasar," ungkapnya dalam Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (30/4/2019). 

Tidak hanya mengandalkan APBN, biaya pemindahan ibu kota negara juga akan bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta dan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Untuk rencana anggaran sendiri akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah ada keputusan dari Presiden. Bambang menyatakan, proses pemindahan ibu kota tentu harus melewati proses politik dan perlu disiapkan undang-undang khusus.

Bambang menambahkan, untuk penentuan lokasi masih harus melewati rapat-rapat koordinasi. Saat ini, pemaparan kajian baru dilakukan oleh Bappenas.

"Kemarin yang saya sampaikan di Kantor Presiden itu baru paparan kajian dari Bappenas. Ada tiga kementerian yang bekerjasama dalam proses pemindahan ini, yaitu Bappenas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR BPN) untuk penyediaan lahan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk persiapan tata kota," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Pemindahan Ibu Kota Butuh Biaya Rp 466 Triliun

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru seluas 40 ribu hektare di luar Pulau Jawa membutuhkan sekitar Rp 466 triliun.

"Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi di mana skenario satu diperkirakan sekali lagi akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau USD 33 miliar, " kata Bambang dikutip dari Antara, Senin (29/4/2019).

Luas lahan 40 ribu hektare dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru.

"Dengan penduduk 1,5 juta di mana pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, permukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minimal 40 ribu hektare untuk membuat ibu kota baru, itu skenario yang pertama," jelas Bambang.

Sementara untuk skenario kedua dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30.000 hektare, dikalkulasi membutuhkan biaya Rp323 triliun atau 23 miliar dolar AS.

Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini