Sukses

Swedia Kasih Cuti 6 Bulan agar Pegawai Bisa Buka Usaha

Swedia berikan cuti agar pegawai bisa membuka bisnis.

Liputan6.com, Stockholm - Pegawai di Swedia menikmati hak cuti sampai setengah tahun untuk menjalankan bisnis. Ini tertuang dalam Undang-Undang Hak Cuti untuk Menjalankan Operasi Bisnis.

Dilaporkan World Economic Forum, cuti ini dapat diajukan pegawai yang sudah bekerja secara full-time selama minimal enam bulan yang disebut tjänstledighet.

Perusahaan hanya bisa menolak cuti jika pegawai tersebut memiliki peran penting dalam pengoperasian bisnis. Ide bisnis si pegawai juga tak boleh berkompetisi atau menyulitkan perusahaan.

Aturan ini memuluskan reputasi Swedia sebagai ibu kota start-up di seantero Eropa, mengalahkan London dan Berlin. Tercatat, Stockholm hanya ada di belakang Silicon Valley dari jumlah Unicorn (start-up dengan valuasi USD 1 miliar).

Beberapa start-up mendunia dari Swedia adalah Spotify, Skype, dan Mojang yang membuat Minecraft. Skype dan Mojan sudah dibeli Microsoft.

Untuk cuti bisnis ini pegawai tidak mendapatkan gaji. Ini berbeda dari cuti terkait keluarga di wilayah Nordik yang umumnya tetap berbayar.

Negara-negara maju di wilayah Nordik terkenal dermawan memberikan cuti agar orang tua bisa menghabiskan waktu bersama anak. Ini berlaku juga di Swedia yang memberikan parental leave selama 16 bulan dan tetap mendapat gaji sekitar 80 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perusahaan Ini Potong Gaji Karyawan yang Tetap Kerja saat Cuti

Bekerja di kantor seringkali dapat menjadi aktivitas yang sangat melelahkan. Meski begitu, bahkan saat sedang cuti dan berlibur, banyak karyawan yang tetap tidak bisa lepas dari kewajiban pekerjaan. Tapi itu tidak akan pernah terjadi jika Anda bekerja di SimpliFlying, sebuah perusahaan strategi penerbangan global.

Melansir laman Business Insider, baru-baru ini perusahaan tersebut menguji coba waktu wajib berlibur bagi para karyawannya. Para karyawan di SimpliFlying diwajibkan mengambil cuti satu pekan setiap tujuh pekan kerja.

Lebih mengejutkan dari itu, jika karyawan tetap mengurus sedikitpun hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, dia akan mendapat potongan gaji. Terhitung sepekan selama cutinya, ia tidak akan mendapat bayaran.

Perusahaan tersebut melarang keras karyawannya untuk sekadar membaca email yang berhubungan dengan pekerjaan, apalagi membalasnya. Hasil uji coba tersebut juga dipaparkan dalam artikel Harvard Business Review oleh Direktur Institute for Global Happiness, Neil Pasricha dan CEO SimpliFlying Shashank Nigam.

Setelah 12 pekan eksperimen tersebut berjalan Pasricha dan Nigam menemukan adanya peningkatan produktivitas, kreativitas dan kebahagiaan pegawai di SimpliFlying.

Sebagai hasilnya, tingkat kreativitas meningkat sebesar 33 persen, kebahagiaan meningkat 25 persen dan produktivitas meningkat sekitar 13 persen dibandingkan sebelum eksperimen tersebut diterapkan.

Sejauh ini, SimpliFlying bukan satu-satunya perusahaan yang menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan yang memudahkan karyawan untuk benar berlibur dan menyegarkan pikiran.

Sebelumnya, CEO Steelhouse, perusahaan pemasaran dan periklanan, memberikan karyawan USD 2 ribu setiap tahunnya untuk berlibur. Perusahaan tersebut juga memberikan (satu kali) libur tiga hari akhir pekan dalam sebulan.

Namun begitu, tidak semua karyawan senang mendapatkan hari libur yang banyak dalam sebulan. Sebagian besar karyawan justru merasa khawatir jika mengambil seluruh cuti tersebut.

Mereka mencemaskan banyaknya pekerjaan yang menanti setelah mereka cuti. Di SimpliFlying, para pegawai bahkan mengeluhkan hari libur yang terlalu sering yakni satu pekan dari setiap tujuh pekan kerja.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.