Sukses

BI Bakal Rilis Aturan Rekening Khusus Devisa Hasil Ekspor

Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan aturan baru wajib membawa devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri pada 1 Januari 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan aturan baru wajib membawa devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri pada 1 Januari 2019. Aturan tersebut salah satunya merupakan implementasi dari penyempurnaan Paket Kebijakan Ekonomi XVI. 

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya akan membuatkan rekening khusus bagi penyimpan devisa di dalam negeri dalam aturan baru itu. Selama penyimpanannya, bank sentral akan memberikan insentif berupa pemotongan pajak deposito.

"Mengenai kebijakan DHE tadi perlu ditegaskan, satu bahwa kebijakan yang ditempuh ini konsisten dengan uu lalu lintas devisa, UU 24/99, mekanisme yang kita lakukan adalah kemudahan dalam memasukkan devisa dan menukarkan dalam rupiah dan pemberian insentif. Kemudahannya kami akan terbitkan PBI terkait rekening simpanan khusus (RSK)," ujar dia di Istana Negara, Jakarta, Jumat (16/11/2018).

Perry mengatakan, pemerintah mewajibkan devisa yang harus disimpan dalam negeri adalah devisa hasil ekspor Sumber Daya Alam (SDA).

Sebab, sektor tersebut paling sedikit menggunakan barang impor sehingga devisanya bisa utuh lebih lama disimpan di dalam negeri.

"Kebijakan yang dikeluarkan tadi adalah bagaimana mempermudah, memperjelas, sekaligus mempercepat DHE khususnya SDA agar tidak hanya masuk ke perbankan dalam negeri, tapi juga dikonversikan ke rupiah dengan sistem insentif," tutur dia.

"Pemerintah fokus ke SDA karena SDA itu memang kebutuhan impornya tidak besar, kan hasil yang diekspor tidak membutuhkan impor yang besar, sehingga DHE-nya itu agar bagaimana bisa dimasukkan ke dalam perbankan dalam negeri dan dikonversikan ke rupiah," sambungnya.

Perry menambahkan, insentif yang akan diberikan kepada eksportir pemilik devisa berupa pemotongan pajak deposito. Ini juga diatur dan dibedakan antara devisa yang disimpan dalam bentuk dolar dan rupiah. 

"Kalau dikonversikan ke rupiah, disimpanannya 1 bulan jadi pajaknya 7,5 persen, 3 bulan jadi 5 persen, 6 bulan tidak dikenakan pajak. Jadi ini insentif bila dikonversikan ke rupiah. Tapi kalau simpanannya masih valas, ya pajaknya 1 bulan 10 persen, 3 bulan 7,5 persen, 6 bulan 2,5 persen, kalau lebih dari 6 bulan baru pajaknya 0 persen," ujar dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

BI Ambil Sikap Konservatif pada 2019

Sebelumnya, nilai tukar Dolar Amerika Serikat (USD) diprediksi akan tetap perkasa pada 2019. Demikian pula dengan kondisi perekonomian global bakal melambat.

Langkah menghadapi ini, Bank Indonesia mencoba mengambil sikap konservatif dengan berhati-hati menjaga nilai tukar rupiah.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global dan negara maju seperti Amerika Serikat pada tahun depan diperkirakan mulai agak melambat dari tahun sebelumnya.

"Jadi kalau kita lihat 2018 itu pertumbuhan ekonomi dunia 3,9, persen dan diproyeksikan turun 3,7 persen pada 2019. Yang membuat turun tapi itu angkanya bukan yang jelek loh ya. Itu penyebabnya karena Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya naik 2,9 persen 2018, kemudian mulai turun ke 2,6 persen 2019," terangnya dalam forum ILUNI FEB UI di Graha Niaga, Jakarta, Jumat 16 November 2018.

Mirza juga menganalisis, perlambatan roda ekonomi Amerika Serikat ini turut diikuti negara dan kawasan besar dunia lainnya seperti Eropa, Jepang dan China. Pertumbuhan di Eropa akan mulai melambat meski suku bunganya belum naik dan belum dilakukan pengetatan.

Begitu juga dengan Jepang, yang menukik dari 1,8 persen pada 2017 menjadi hanya 1,1 persen 2019, serta China sebagai negara ekonomi kedua terbesar di dunia yang turun dari 6,9 persen 2017 jadi 6,3 persen 2019.

Di tengah kemungkinan perlambatan tersebut, ia menyatakan, kenaikan suku bunga The Fed diprediksi masih belum selesai.

"Desember nanti most likely naik dari 2,25 persen ke 2,5 persen. Tahun depan The Fed bilang naik tiga kali jadi 3,25 persen, tapi market enggak percaya. Ah cuman naik satu atau dua kali," jelas dia.

"Awal tahun 2018 juga terjadi begitu, The Fed bilang naik empat kali market bilang dua kali. Yang benar The Fed, tetap naik empat kali market-nya kemudian menyesuaikan diri, itu terjadi penguatan dolar. Jadi tahun 2019 walaupun ekonominya melambat tapi kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan terus, apakah tiga kali atau dua kali," tambah dia.

Demi menindaki tren ini, Mirza menyampaikan, pihaknya akan coba berhati-hati dalam mengambil arah kebijakan terkait suku bunga acuan.

"Bank Indonesia ambil conservative stance bahwa kemungkinan The Fed menaikan sampaikan tiga kali. Sehingga kita harus tetap prudent," ujar dia.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.