Sukses

Rupiah Kian Lesu, RI Harus Perkuat Sektor Ekspor

Ketua Umum APINDO Hariyadi Sukamdani menilai, kondisi rupiah saat ini masih jauh lebih baik dibanding masa krisis 1998.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus merosot pada awal September ini. Mengutip data Bloomberg, Selasa sore 4 September 2018. Rupiah berada di kisaran 14.935 per dolar AS (USD).

Agar tidak semakin memburuk, pemerintah disarankan untuk memperkuat sektor ekspor agar nilai tukar rupiah tidak terus melemah di tengah keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam.

Meski begitu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai, kondisi saat ini masih jauh lebih baik dibanding masa krisis 1998. Sebab, menurut dia, sektor perbankan dalam negeri kini masih kuat.

"Dulu problemnya dipicu oleh sektor perbankan sekarang perbankan kita jauh lebih kuat dan sehat. Sekarang problemnya dari global," ungkap dia kepada Liputan6.com, Selasa (4/9/2018).

Sebagai informasi, nilai tukar Rupiah terhadap USD pada saat krisis moneter 20 tahun silam sempat berada pada kisaran 16.500.

Dia lantas coba mengkaji mengapa rupiah terus membumbung tinggi hingga hari ini. Haryadi menilai, hal ini sebenarnya sudah diprediksi sejak lama lantaran beberapa faktor, antara lain komponen impor yang tinggi, beban fiskal yang terus bertambah, serta beban luar negeri yang juga besar.

Hariyadi pun memberikan beberapa saran untuk menanggulangi hal ini. "Yang perlu dilakukan, salah satunya all out ekspor di sektor perikanan. (Menteri Kelautan dan Perikanan) harus mau ubah kebijakan, khususnya untuk bisa ekspor ikan hias," ujar dia.

Di samping itu, dia juga menyarankan regulasi ekspor batubara harus dipermudah, serta mengimbau agar restitusi pajak jangan dipersulit lantaran itu merupakan modal kerja eksportir.

"Saat ini mengurus restitusi pajak bisa lebih dari 3 bulan bahkan setahun. Perusahaan eksportir yang mengajukan restitusi harus diperiksa laporan pajaknya, yang terkadang malah membuat mereka mengalami temuan yang menyebabkan pengenaan pajak lainnya. Sehingga itu membuat eksportir jadi enggan mengurus restitusi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka," tutur dia.

Hal lain yang perlu segera diinisiasi, lanjutnya, antara lain melakukan subtitusi impor, percepatan kebijakan Biodiesel 20 Persen (B20), memberikan insentif dan kemudahan untuk sektor industri yang produknya dipersiapkan mengganti barang impor, serta imbauan agar penambahan tarif pajak penghasilan (PPh) jangan membatasi bahan baku, barang modal, dan minuman beralkohol untuk konsumsi turis.

"Proyek infrastruktur yang belum mendesak diperlukan dan akan menjadi beban baru juga harusnya segera ditunda. Contohnya, kereta cepat Jakarta-Bandung," pungkas Hariyadi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menko Darmin: Jangan Bandingkan Rupiah Saat Ini dengan Krismon 1998

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.

Darmin mengatakan, meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Gini deh, jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Pada 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 September 2018.

Dia mengaku heran dengan pihak-pihak tertentu yang selalu membanding-bandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis.

"Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu tembus angka terendah 1998-1999. Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," kata dia.

Darmin menyatakan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada 1998. Meski saat ini salah satu kelemahan yang dialami Indonesia, yaitu soal transaksi berjalan yang defisit.

"Kita fundamental ekonomi masih oke. Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, yaitu 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina, itu-lah. Betul, kita lebih kecil. Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita 5 koma persen," jelas dia.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari sisi mana pun, kata dia, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan 1998.

"Dilihat dari sudut mana pun. Meski pun kita ada defisit transaksi berjalan, ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini defisit. Memang ini agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.