Sukses

Ekonom Ini Sebut Rupiah Menguat karena RI Diserbu Hot Money

Tren penguatan Rupiah terus berlanjut hingga menembus 13.325 per dolar Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta - Tren penguatan Rupiah terus berlanjut hingga menembus 13.325 per dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi tersebut disebabkan karena derasnya aliran modal yang masuk ke Indonesia, bukan dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) melainkan uang panas alias hot money.

Pengamat Valas, Farial Anwar mengungkapkan, uang panas yang masuk ke Indonesia memburu portofolio investasi di saham, surat utang, dan lainnya di pasar modal sehingga mengangkat kurs Rupiah secara signifikan. Hot money ini, sambungnya, bebas keluar masuk tanpa ada aturan jelas.

"Indonesia sedang diserbu hot money atau uang panas yang masuk ke saham, surat utang karena pasar modal kita mudah digoreng. Surat utang yang dijual banyak peminatnya dari investor asing," ucap Farial saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/2/2016).

 

Dirinya beralasan, uang panas ini berbondong-bondong masuk karena Indonesia sanggup menawarkan bunga surat utang tinggi hingga 9-10 persen. Akibatnya, pasar keuangan RI dipenuhi spekulator yang membawa penguatan kurs Rupiah.

"Kalau mau beli saham dan surat utang di Indonesia, tentu harus menjual dolar AS untuk dapat Rupiah. Jadi Rupiah menguat bukan karena intervensi Bank Indonesia (BI)," papar Farial.

Saat ini, katanya, pemerintah belum dapat mengandalkan aliran investasi riil dari Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) lantaran pertumbuhan industri sedang melambat karena guncangan dari suku bunga tinggi.

"Siapa yang mau investasi? Industri lagi lemah begini. Yang ada faktanya PHK semua, karena kurs Rupiah dan tingkat bunga tinggi," tegas Farial.

Karena penguatan kurs Rupiah akibat hot money, Farial mengingatkan agar pemerintah maupun BI harus siap dengan tren pembalikan arah suatu saat nanti. Pasalnya, diakuinya, Rupiah bukanlah mata uang yang stabil karena mudah goyah ketika ada guncangan dari eksternal maupun internal.

Kekhawatiran yang masih mengintai pergerakan kurs Rupiah, tambahnya, faktor perlambatan ekonomi China dan AS sebagai mitra dagang utama Indonesia. Tekanan perekonomian negara ini, lanjut Farial, menurunkan permintaan dan ekspor komoditas maupun produk buatan RI.

Apalagi, kata Farial, Indonesia menjadi sasaran empuk serbuan produk asing di era pasar bebas ASEAN sehingga berpotensi lebih banyak impor ketimbang ekspor. Itu artinya, pembelian dolar di dalam negeri lebih besar daripada penjualannya dan pada akhirnya bisa menekan rupiah kembali.

"Pelemahan atau penguatan Rupiah bisa terjadi dalam hitungan banyak sekali dari 14.000 balik ke 13.300-13.200, atau bisa saja nanti balik melemah lagi. Jadi kita bakal jungkir balik terus karena rezim devisa bebas," terang Farial.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.