Mengupas Tentang Sindrom Anak Tunggal, Apakah Itu Hanya Mitos atau Fakta?

Sindrom anak tunggal merupakan teori yang menyatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki saudara kandung adalah anak yang suka memerintah, manja, egois, berprestasi, dan kesepian.

oleh Wanda Andita Putri diperbarui 03 Nov 2023, 17:00 WIB
Stimulasi kecerdasan anak dapat dilakukan melalui aktivitas sehari-hari. (Foto: Unsplash/Ben Griffiths)

Liputan6.com, Jakarta - Apakah kamu anak tunggal? Bila iya, pernahkah kamu mendengar bahwa anak anak tunggal dapat mengalami kesulitan dalam berbagi dan bersosialisasi? Mungkin kamu pernah mendengar bahwa anak tunggal akan tumbuh dalam kesepian. Munculnya berbagai steriotip tentang anak tunggal ini juga menyebabkan adanya teori baru, yaitu sindrom anak tunggal.

Sindrom anak tunggal merupakan teori yang menyatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki saudara kandung adalah anak yang suka memerintah, manja, egois, berprestasi, dan kesepian. Hal ini juga menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki keterampilan sosial yang buruk karena kurangnya interaksi dengan anak lain dan kesulitan berbagi karena selalu mendapatkan perhatian penuh dari orang tua.

Pada kenyataannya, anak tunggal terkadang mendapat reputasi buruk dan hal ini belum tentu benar. Namun, reputasi ini menimbulkan berbagai kekhawatiran bagi segelintir orang tua. Apabila kamu adalah orang tua yang memiliki anak tunggal, kamu dapat mendorong sosialisasi tambahan yang mungkin dapat terjadi secara alami di antara sepupu atau teman sebayanya dengan mengatur aktivitas bermain bersama.

Sebagai orang tua, kamu harus fokus untuk memberikan pelajaran penting kepada anakmu mengenai kesabaran, berbagi, serta menghindari memanjakan anak secara berlebihan agar dapat meminimalisir argumen negatif tentang anak tunggal. Lantas, apakah sindrom anak tunggal ini merupakan fakta atau mitos? Berikut ulasannya, seperti yang dirangkum dari halaman Verywell Mind pada Jumat (3/1a/23).

2 dari 3 halaman

Bagaimana Ciri-ciri Anak Tunggal?

Ilustrasi anak perempuan. (Photo by 🇸🇮 Janko Ferlič on Unsplash)

Seorang psikolog klinis dan profesor di Universitas Yeshiva, Sabrina Romanoff, Psy.D., membagi ciri-ciri anak tunggal ini dalam dua hal, yaitu

Ciri-ciri Negatif Anak Tunggal

Ada kepercayaan bahwa anak tunggal cenderung tidak dapat menyesuaikan diri dan egois, serta lebih memilih waktu sendirian. Hal ini dikarenakan anak tunggal terbiasa menerima semua kebutuhan, keinginan, baik dari orang tua maupun kakek-nenek sehingga mereka menjadi lebih manja. Hal ini tidak hanya mencakup harta benda saja, tetapi juga perhatian.

Anak tunggal juga diyakini tidak mampu berkompromi atau bekerja sama dengan baik karena mereka tidak harus berbagi mainan, ruang, identitas, dan perhatian orang tua dengan siapa pun. Ketika dewasa, banyak yang beranggapan bahwa mereka akan menjadi egois, mempunyai fokus utama pada kebutuhan diri sendiri, kesulitan mengatur kebutuhan, kesulitan mengatur hubungan dengan orang lain, dan menunjukkan sikap atau keterampilan sosial yang buruk.

Ciri-ciri Positif Anak Tunggal

Teori ini juga memberikan sifat positif dari anak tunggal yang juga berpengaruh pada orang sekitarnya. Misalnya, banyaknya perhatian dan pujian orang tua atas prestasinya yang diyakini menyebabkan anak tersebut berprestasi membanggakan sepanjang hidupnya. 

Selain itu, ada juga yang percaya bahwa anak tunggal lebih mandiri dan protektif terhadap anak waktu mereka sendiri karena mereka terbiasa menghabiskan waktu sendirian. Anak tunggal juga diyakini peka terhadap kebutuhan orang lain, sebagaimana peka terhadap kebutuhan orang tuanya.

 

3 dari 3 halaman

Apakah Sindrom Anak Tunggal Itu Nyata?

Membesarkan seorang anak harus dipegang oleh ayah juga (Foto: Unsplash.com/🇸🇮 Janko Ferlič)

Teori sindrom anak tunggal ini dikemukakan oleh para psikolog pada akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an. Sigmund Freud, seorang ahli saraf di Austria yang mendirikan konsep psikoanalisis, percaya bahwa anak tunggal rentan terhadap masalah identitas, bahkan ia menyarankan agar orang tua yang memiliki anak tunggal untuk mengadopsi anak kedua bila mereka tidak dapat hamil lagi.

Rekomendasi ini didasarkan pada karya dua psikolog berpengaruh lainnya, yaitu G. Stanley Hall dan EW Bohannon yang melakukan survei dan menyimpulkan bahwa anak tunggal pada umumnya cenderung memiliki sejumlah sifat yang aneh dan merugikan. 

Faktanya, Hall bahkan menyatakan bahwa menjadi anak tunggal disebut penyakit tersendiri. Meskipun teori ini mendapatkan popularitas, tetapi hanya sedikit penelitian empiris yang mendukungnya. Karya Hall telah diteliti dan banyak ditolak di kalangan akademis, tetapi mereka tetap menjadi referensi dalam budaya populer.

Pada abad ke-20, penelitian yang memperdebatkan teori sindrom anak tunggal mulai bermunculan. Sebuah tinjauan yang diterbitkan pada tahun 1987, mencatat bahwa penelitian lain yang dilakukan pada masa itu, menyimpulkan bahwa menjadi anak tunggal bukanlah suatu faktir penentu pengembangan kepribadian seseorang.

Faktanya, tinjauan tersebut juga menemukan bahwa faktor lain, seperti urutan kelahiran tidak serta merta memengaruhi kepribadian seseorang. Penelitian menemukan bahwa menjadi anak tunggal tidak akan menyebabkan perbedaan karakteristik dengan anak yang memiliki saudara kandung. Sebaliknya, pemahaman saat ini ialah bahwa genetika, lingkungan, stres, dan keadaan hidup jauh lebih dapat memprediksi kepribadian seseorang.

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa gaya asuh orang tua yang memiliki satu anak dan orang tua yang memiliki anak lebih dari satu tidak berbeda secara signifikan. Orang tua yang hanya memiliki satu anak belum tentu terlalu protektif terhadap anaknya atau cenderung memanjakan anaknya.

Infografis Taman-Taman Ramah Anak di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya