Pemerintah Belum Rencana Ganti Pertalite dengan Pertamax Green 92

PT Pertamina (Persero) telah menyampaikan usul untuk mengalihkan Pertalite (RON 90) dengan campuran etanol 7 persen menjadi Pertamax Green 92

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Sep 2023, 18:29 WIB
PT Pertamina (Persero) telah menyampaikan usul untuk mengalihkan Pertalite (RON 90) dengan campuran etanol 7 persen menjadi Pertamax Green 92. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) telah menyampaikan usul untuk mengalihkan Pertalite (RON 90) dengan campuran etanol 7 persen menjadi Pertamax Green 92. Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum melakukan kajian terhadapnya.

Hal itu diakui Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji. Dia mempersilakan Pertamina untuk merencanakan Pertamax Green 92, namun pemerintah sejauh ini belum fokus membahasnya.

"Kalau Pertamina membahas, silakan saja membahas. Tapi pemerintah belum. Jadi industri dulu silakan membahas, tapi pemerintah belum," ujar Tutuka di Park Hyatt Jakarta, Kamis (7/9/2023).

Senada, Kementerian ESDM pun belum mengkaji pemberian insentif terhadap Pertamax Green 92. Sehingga belum dipastikan apakah alokasi subsidi yang selama ini diberikan untuk Pertalite akan turut dialihkan atau tidak.

"Insentif perlu dikaji lebih dalam, dan perlu ditawarkan. Harus ada penawaran tentang insentif ini," imbuh Tutuka.

Butuh Investasi

Menurut dia, pemerintah juga butuh investasi untuk bisa mengalihkan subsidi APBN yang selama ini dijatuhkan kepada produk gasoline kepada campuran etanol dan gasoline.

"Itu masih belum dibicarakan lebih jauh. Tapi pemikiran itu saya kira baik untuk mendorong investasi," kata Tutuka.

 

2 dari 4 halaman

Sumber dari Tebu

Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Untuk etanol sendiri, Pertamina masih mengandalkan sumber dari tebu untuk bahan campuran Pertamax Green 95. Padahal, Tutuka menilai Indonesia diberkahi potensi sumber daya alam yang lebih besar dari sekadar tebu.

"Etanol itu kan bahannya dari tebu. Kalau sawit itu punya banyak. Jadi Indonesia itu biodeserve-nya terkenal sekali di dunia. Malaysia aja jauh. Presentase biodiesel kita di dunia sangat tinggi," tuturnya.

"Tapi kalau bioetanol, kita punya enggak lahan sebesar sawit? Itu yang harus kita perhatikan. Harus realistis lah," pungkas Tutuka.

3 dari 4 halaman

Subsidi BBM Pertamax Green 92 Ampuh Cegah APBN Tak Jebol?

Petugas mengisi bahan bakar BBM jenis pertamax green ke sepedah motor di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menilai tidak tepat rencana PT Pertamina (Persero) untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92, yang merupakan campuran antara Pertalite dengan etanol 7 persen (E7) di tahun depan. Dengan ini, Pertamax Green 92 nantinya akan masuk dalam barang subsidi jenis BBM khusus penugasan (JBKP) menggantikan Pertalite.

Menurut Abra, fokus Pertamina yang harus dilakukan saat ini adalah memastikan subsidi BBM tepat sasaran agar keuangan APBN tidak jebol. Mengingat, program subsidi energi saat ini masih bersifat terbuka.

"Masalah krusial yang menyelimuti wacana pengalihan subsidi atau kompensasi pertalite ke Pertamax (Green 92) adalah masih berlangsungnya mekanisme secara terbuka. Nah inilah yang saya pikir menjadi masalah yang paling krusial yang semestinya menjadi fokus pemerinta sebelum wacana subsidi atau kompensasi BBM ke Pertamax," ucapnya dalam webinar bertajuk Subsidi Go Green Tepatkah? di Jakarta, Rabu (6/9).

Abra mencatat, konsumsi Pertalite masih di dominasi oleh pengguna kendaraan roda empat atau mobil mencapai 70 persen di tahun 2020 lalu. Jumlah tersebut setara 20,35 juta kilo liter (KL) Pertalite.

 

4 dari 4 halaman

Konsumsi Pertalite

Wacana Peralihan Pertamax Green 92 Harus Dikaji Serius

Sementara itu, jumlah konsumsi Pertalite oleh kendaraan roda dua hanya sebesar 30 persen. Angka konsumsi BBM subsidi tersebut tersebut setara 8,72 KL.

Kondisi tersebut, tentunya harus segera diperbaiki untuk mencegah jebolnya APBN akibat terkuras subsidi BBM. Terlebih, harga minyak mentah dunia terus mengalami fluktuasi di tengah ketidakpastian ekonomi global.

"APBN perlu dipertimbangkan juga nanti resikonya terhadap neraca perdagangan bebas kita yang kemudian berujung juga terhadap volatilitas nilai tukar Rupiah kita. Jadi ada beberapa pertimbangan yang perlu diukur oleh pemerintah dalam memutuskan kebijakan ini," bebernya.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) mencapai Rp25,7 triliun. Alokasi itu meningkat sekitar 10 persen dibanding outlook 2023 yang mencapai Rp23,3 triliun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya