Bayi Lahir Tuli di Indonesia Tak Ada Jaminan Dapat Alat Implan Koklea

Tuli Kongenital merupakan tuli yang terjadi sebelum persalinan atau pada saat persalinan, disebabkan oleh kelainan secara genetik dan nongenetik.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 08 Mar 2022, 10:00 WIB
Foto: pixabay tung256

Liputan6.com, Jakarta Tuli Kongenital pada anak merupakan masalah serius. Menurut Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT), dr. Damayanti Soetjipto Sp.THT, bila tidak ditangani, Tuli Kongenital bisa menyebabkan gangguan bicara dan bahasa serta gangguan komunikasi atau dikenal Tunarungu wicara. 

Tuli Kongenital merupakan tuli yang terjadi sebelum persalinan atau pada saat persalinan, disebabkan oleh kelainan secara genetik dan nongenetik. 

"Tuli kongenital bisa ditolong dengan deteksi dini dan intervensi dini. Deteksi dini dilakukan dengan cek pendengaran menggunakan alat OAE (Otoacoustic Emission (OAE) setelah bayi lahir 3 bulan sehingga anak tidak terlambat bicara dan bisa memiliki masa depan gemilang. Sedangkan intervensi dini dilakukan dengan penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD) atau operasi implan koklea serta habilitasi pendengaran sejak usia 6 bulan," jelasnya dalam Advocacy Webinar (World Hearing Day 2022), ditulis Selasa (8/3/2022).

 

 

2 dari 2 halaman

Masalah yang terjadi di Indonesia

Meski pemerintah fokus pada pencegahan tuli kongenital dengan menggencarkan vaksinasi rubella dan intervansi dini, namun ada "missing link", menurut Damayanti. 

1. Tidak ada Alat Bantu Dengar (ABD) khusus yang berkualitas.

"Padahal anak ini misalnya Tuli berat namun ia tidak bisa menggunakan ABD yang ditanggung BPJS Kesehatan karena minimal range harganya Rp4-5 juta," katanya.

2. Implan koklea belum ditanggung BPJS Kesehatan

"Anak tuli berat tidak bisa menggunakan ABD sehingga harus implan. Sementara operasi implan koklea biayanya ratusan juta dan belum ditanggung BPJS," katanya.

3. Bayi lahir tuli belum mendapat hak atas alat untuk mendengar yaitu alat implan koklea yang seharusnya dijamin dalam UU (PMK 82/2020-tentang gangguan penglihatan dan pendengaran dan UU no 8 pasal 12 yang berisi: Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.) sehingga terpaksa "ditelantarkan" untuk menjadi anak tunarungu wicara dengan masa depan suram. 

"Pemerintah tidak menyiapkan hal ini. Sementara di Malaysia, disubsidi pemerintah. Saat ini pemerintah belum mengalokasikan alat impan kolea," katanya.

Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya