Sengketa Biodiesel RI dengan Uni Eropa Bakal Berujung di WTO

Menko Perekonomian, Darmin Nasution memperkirakan sengketa mengenai penerapan bea masuk terhadap biodiesel tersebut akan berujung ke meja WTO.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jul 2019, 12:30 WIB
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (Dok Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)

Liputan6.com, Jakarta - Uni Eropa resmi memberlakukan pengenaan bea masuk untuk biodiesel asal Indonesia sebesar 8-18 persen. Kebijakan itu akan berlaku secara provisional (sementara) per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution memperkirakan sengketa mengenai penerapan bea masuk terhadap biodiesel tersebut akan berujung ke meja World Trade Organization (WTO).

"Pasti ujungnya kalau mereka sudah mulai kan enggak bisa dibiarkan gitu aja, pasti ujungnya ya ke WTO. Kami tentu akan mendengar apa yang mereka tuduhkan, kami jawab, diskusi dan berunding," kata dia saat ditemui di kantornya, Minggu (28/7).

Darmin mengungkapkan alasan Eropa selalu mendiskriminasi produk olahan atau turunan dari kelapa sawit sebab secara kualitas lebih unggul dibandingkan minyak nabati Eropa. Selain itu, produk sawit memiliki harga yang lebih kompetitif, produk olahan kelapa sawit milik Indonesia juga jumlahnya berlimpah.

Biodiesel Indonesia dikenai bea masuk karena Uni Eropa menuding Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) itu. Pengenaan tarif impor ini merupakan buntut dari sengketa biodiesel antara Indonesia dan UE selama 7 tahun terakhir. Adapun, bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8 persen, Wilmar Group 15,7 persen, Musim Mas Group 16,3 persen, dan Permata Group sebesar 18 persen.

 

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Sikap Tegas Indonesia

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sebelumnya, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyatakan, Pemerintah RI harus tegas terhadap sikap UE yang telah memberikan hambatan perdagangan yang signifikan pada ekspor biodiesel Indonesia.

"Kami akan menyampaikan respons tegas secara resmi untuk hal ini. Bila proposal ini menjadi penentuan awal, maka bisa dipastikan ekspor biodiesel ke Uni Eropa mengalami hambatan," seru dia saat sesi konferensi pers di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (26/7).

Menurut data Kemendag, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa meningkat tajam dari USD 116,7 juta pada 2017 menjadi USD 532,5 juta pada 2018. Namun, pada 2019 ini, tren ekspor biodiesel Indonesia ke tanah Eropa cenderung turun bila dibanding tahun sebelumnya.

Dia melanjutkan, proposal tersebut sebenarnya merupakan ancaman kesekian kalinya yang dilakukan Uni Eropa untuk menghambat akses pasar produk Indonesia di tanah Edipa. Pada Desember 2018, European Commission (EC) menginisiasi penyelidikan antisubsidi terhadap biodiesel asal Indonesia.

"Indonesia diklaim memberikan suatu bentuk fasilitas subsidi yang meIanggar ketentuan WTO (World Trade Organization) kepada eksportir biodiesel, sehingga memengaruhi harga ekspor biodiesel ke Uni Eropa," ungkap dia.

 

3 dari 3 halaman

Petani Sebut Pungutan Ekspor CPO Hanya Untungkan Produsen Biodiesel

Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Petani kelapa sawit menilai pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang selama ini diberlakukan hanya untuk kepentingan industri biodiesel. Pasalnya, hampir 99 persen dari dana tersebut diperuntukkan untuk insentif program campuran solar dengan CPO yang saat ini sebesar 20 persen (B20).

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan, sebenarnya para petani mengapresiasi inisiatif pemerintah yang membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) pada 2015. Badan salah satunya bertugas untuk mengumpulkan dana pungutan ekspor CPO.

"Namun hingga saat ini tidak memberikan rasa manfaat bagi kurang lebih lebih 12 juta keluarga petani kelapa sawit," ujar dia di Jakarta, Jumat (28/6/2019).  

Dia menyatakan, begitu juga dengan dana pungutan ekspor CPO yang dirasa sangat minim memberikan manfaat bagi para petani kepala sawit. Dana tersebut justru lebih banyak digunakan untuk kepentingan industri biodiesel dalam rangka mendukung program B20.

Dari total dana pungutan yang terkumpul sebanyak Rp 43 triliun sejak 2015, dialokasikan untuk insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 38,7 triliun dalam periode 2015-2019 atau rata-rata insentif mencapai Rp 7-8 triliun per tahun.

Sementara yang disalurkan untuk bantuan petani melalui dana replanting hanya sekitar Rp 702 miliar sampai dengan tahun 2018 atau sekitar 1,6 persen.

"Karena itu, dapat dikatakan pengunaan dana sawit selama ini alokasinya salah kaprah karena hanya untuk kepentingan industri biodiesel. Alasan industri untuk pasar baru dan stabilisasi harga hanya akal-akalan saja," tandas dia.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya