Komnas Perempuan Sesalkan Putusan Mahkamah Agung Tolak PK Baiq Nuril

Komnas Perempuan menilai masih ada pertimbangan hukum yang seharusnya digunakan hakim agung untuk mengabulkan PK Baiq Nuril tersebut.

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 08 Jul 2019, 17:09 WIB
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menanggapi putusan PK Baiq Nuril. (Liputan6.com/Ratu Annisaa Suryasumirat)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali Baiq Nuril. Komnas Perempuan menilai masih ada pertimbangan hukum yang seharusnya digunakan hakim agung untuk mengabulkan PK tersebut.

"Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan MA RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan denga Hukum dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak PK kasus BN ini," tutur Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni, di Gedung Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta, Senin (8/7/2019).

Selain itu, Komnas Perempuan menyesalkan langkah Polda NTB yang menghentikan penyidikan kasus pencabulan yang dilaporkan Baiq Nuril. Budi menilai polisi tidak mampu menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP dalam penyidikan kasus tersebut.

Oleh karena itu, Komnas Perempuan akan meminta DPR RI dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, dengan tetap memastikan kesembilan jenis kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, dalam RUU tersebut dapat dipertahankan.

Kemudian, Budi juga meminta agar Presiden RI memberikan amnesti kepada Baiq Nurilsebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana. Terutama, dalam melindungi warga negara yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Zero Tolerance

Terpidana kasus pelanggaran ITE Baiq Nuril Maknun (kanan) memberi keterangan saat tiba di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (8/7/2019). Guru honorer itu divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta atas perekaman pelecehan seksual yang dialaminya. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Budi juga berharap, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk mengeluarkan kebijakan zero tolerance terhadap kekerasan seksual. Termasuk pelecehan seksual di lingkup Kemendikbud.

"Dan merekomendasikan kepada para pendidik pada institusi formal dan non formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual," kata Budi.

"Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dan Dinas PPPA setempat mengupayakan pemulihan dan pendampingan kepada BN, khususnya kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil," lanjut dia.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya