Komisi Konstitusi yang Tiada Arti

MPR sepakat membentuk Komisi Konstitusi lewat Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2002. Seperti Badan Pekerja MPR, hasil kerja mereka tetap ditentukan Majelis lewat Sidang Tahunan.

oleh Liputan6 diperbarui 12 Agu 2002, 10:56 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Hawa panas dari Senayan tak lagi terasa. Interupsi yang menjadi kata sakti selama sepuluh hari terakhir tak terdengar. Ketua MPR Amien Rais mendinginkan dengan ketukan palu mengakhiri Sidang Tahunan MPR 2002. Amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bahan perdebatan selesai. Kini, Indonesia telah memiliki konstitusi yang nyaris baru, meski nama lawas. Sistem kenegaraan berubah drastis. Tak ada lagi MPR. Hanya tinggal DPR yang disandingkan dengan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilihan umum. Nantinya, negeri ini juga akan memiliki presiden dan wakil presiden yang juga dipilih rakyat. Semua itu secara formal tampak sesuai dengan keinginan reformasi yang mengamanatkan amendemen. Keinginan pendiri negara lewat Pasal 37 UUD `45 juga terpenuhi terlepas dari substansinya.

Selain itu, Majelis juga menyepakati usulan membentuk Komisi Konstitusi lewat Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2002. Tugasnya, melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD `45. Hal inilah yang menimbulkan persoalan baru. Betapa tidak, lembaga yang diharapkan berwenang penuh atas amendemen tak lebih seperti Badan Pekerja MPR yang sebelum mengamendemen UUD `45. Sebab, berdasarkan TAP itu, hasil kerja mereka tetap ditentukan MPR lewat Sidang Tahunan. Sebetulnya, usulan membentuk Komisi Konstitusi telah muncul setahun silam [baca: Komisi Amendemen UUD `45 Perlu Wewenang Penuh]. Sejumlah Koalisi Organisasi Nonpemerintah yang mengusulkan itu. Awalnya, Presiden Megawati Sukarnoputri yang merespon ide tersebut. Kemudian, gagasan itu dilanjutkan F-PDIP ke Panitia Ad Hoc I BP MPR [baca: F-PDIP Mengusulkan Pembentukan Komisi Konstitusi]. Namun, usulan itu ditolak seluruh fraksi yang duduk di PAH I [baca: Mayoritas Fraksi MPR Menolak Pembentukan Komisi Konstitusi].

Usulan membentuk Komisi Konstitusi kembali muncul beberapa hari menjelang ST MPR 2002. Panglima TNI Jenderal Edriartono Sutarto yang mengemukakan itu [baca: Endriartono Sutarto: TNI Mendukung Amendemen UUD `45]. Tujuannya, untuk menyelaraskan hasil amendemen yang dilakukan secara bertahap oleh MPR. Usulan itu kemudian menjadi perdebatan alot dalam ST MPR. Fraksi TNI/Polri yang menjadi penggerak usulan tersebut. Akhirnya, MPR sepakat membentuk Komisi Konstitusi lewat TAP MPR. Untuk itu, Majelis menugaskan Badan Pekerja MPR membentuk, menyusun keanggotaan Komisi Konstitusi. Namun ternyata, mereka yang tadinya mengusulkan pembentukan Komisi itu malah menolak. Mereka curiga Komisi Konsitusi yang dibentuk BP MPR tak sesuai dengan harapan. Alasan mereka, keberadaan Komisi Konsitusi tak kuat dengan berbekal TAP MPR.

Bahkan, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bambang Widjajanto menilai Komisi Konstitusi yang dimaksud TAP tak lebih sebagai lembaga riset. Sebab, tugasnya hanya mengkaji perubahan UUD` 45 yang dihasilkan MPR dalam Sidang Tahunan. Juga tak ada bedanya dengan tim pakar yang membantu PAH I BP MPR merumuskan draf amendemen. "Ini kan main-main," kata Bambang yang juga tergabung dalam Koalisi Ornop, mengaku geram [baca: Independensi Anggota Komisi Konstitusi Diragukan].

Hal serupa juga dikatakan Todung yang juga anggota Koalisi Ornop. Todung menyebutkan dari hasil monitoring Koalisi Ornop, ternyata telah terjadi setback menyangkut usulan keberadaan Komisi Konstitusi. "Awalnya memang respons terhadap tuntutan adanya Komisi Konstitusi cukup positif. Cuma sekarang ini, tuntutan itu diadopsi, tapi isinya dikooptasi," kata Todung. Seperti halnya Bambang dan Todung, bekas Rektor Universitas Gadjah Mada Ichlasul Amal menolak jika pembentukan Komisi Konstitusi diatur lewat TAP. Seharusnya, menurut dia, Komisi Konstitusi dibentuk berdasarkan Pasal 37 UUD `45. Dia juga menilai, waktu pembentukan Komisi Konstitusi pada 2003 terlalu lama. "Saya takut, MPR lupa pada visi dan misi Komisi Konstitusi," kata Ichlasul, khawatir.

Amien Rais tak menolak jika Komisi Konstitusi bertugas mengkaji amendemen yang dihasilkan MPR. Malah, Amien mengatakan, Komisi Konsitusi hanya bertugas menyelaraskan, memperbaiki, dan menyempurnakan hasil amendemen. "Komisi Konstitusi tak akan mengubah amendemen pertama, kedua, dan ketiga," jelas Amien. Karena itulah, menurut Amien, fraksi-fraksi di MPR sepakat pembentukan Komisi Konstitusi diatur dalam TAP MPR. "Kalau diatur dalam aturan tambahan, MPR punya hak apalagi? MPR dalam format baru hanya berwenang mengubah dan memperbaiki konstitusi," tutur Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional ini.

Memang, Amien mengakui, memilih anggota Komisi Konstitusi, bukan persoalan mudah. Karena itulah, Amien mengaku belum menemukan cara yang tepat untuk memilih orang-orang yang duduk dalam lembaga tersebut. Apalagi, selain independen, anggota Komisi Konstitusi juga harus nonpartisan, dan mewakili semua komponen bangsa. Kendati demikian, Amien menolak jika MPR dikatakan tak mampu mencari figur-figur yang duduk dalam keanggotaan lembaga tersebut. "Terlebih lagi, anggota Majelis adalah orang-orang terpelajar," ujar mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini.

Wakil Ketua Komisi A ST MPR Theo L. Sambuga juga menyampaikan hal serupa. Namun sebelumnya, Menteri Negara Perumahan dan Pemukiman era Presiden B.J. Habibie ini mengajak semua kalangan memberikan masukan ke BP MPR untuk merumuskan mekanisme perekrutan anggota Komisi Konstitusi. Karena bersifat masukan, tentu saja, BP MPR berhak menolak masukan tersebut. Dengan demikian, mereka-lah yang berhak menentukan mekanisme pemilihan anggota Komisi Konstitusi. Juga didasari penjelasan Amien di atas, MPR juga yang berwenang memutuskan hasil kerja Komisi Konstitusi. Bila demikian, keberadaan Komisi Konsitusi menjadi tak perlu. Toh, keberadaan mereka tak berbeda dengan BP MPR yang tugasnya ditentukan MPR lewat Sidang Tahunan.(AWD)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya