Jelang Demo Rompi Kuning Anti-Pemerintah Jilid Ke-12, Prancis Bersiaga

Belasan ribu massa akan berpartisipasi dalam protes rompi kuning ke-12. Namun, pemerintah dan aparat Prancis telah bersiaga meredam potensi kerusuhan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Feb 2019, 15:00 WIB
Demonstran mengibarkan bendera Prancis saat kerusuhan menentang kenaikan harga bahan bakar di Paris, Prancis, Sabtu (24/11). Demonstrasi terjadi oleh dorongan gerakan "rompi kuning". (AP Photo/Michel Euler)

Liputan6.com, Paris - Gerakan gilets jaunes atau 'rompi kuning' bersiap untuk mengadakan protes antipemerintah ke-12 akhir pekan ini di Prancis, dengan dua kota besar, Paris dan Valence, diperkirakan menjadi titik berkumpul utama bagi belasan ribu partisipan.

Polisi telah diimbau untuk bersiaga, terutama di dua kota tersebut, guna mengantisipasi gangguan ketertiban umum, demikian seperti dikutip dari media warta lokal Prancis, TheLocal.fr, Sabtu pagi WIB, (2/2/2019).

Hingga 10.000 orang diperkirakan akan menghadiri protes di Valence, menurut pejabat setempat, dengan sekitar 10 persen dari mereka berpotensi sebagai "casseurs", atau preman yang bergabung dengan demonstrasi dengan maksud memerangi polisi, merusak atau menjarah toko-toko lokal.

Sementara demo di Paris akan dipimpin oleh beberapa dari ratusan pemrotes yang telah terluka oleh polisi antihuru-hara selama dua bulan terakhir dari protes rompi kuning nasional.

Lebih dari 2.000 orang pada Jumat 1 Februari 2019 sore waktu lokal mengatakan mereka pasti akan pergi ke demo dan 10.000 lainnya mengatakan mereka "tertarik" pada halaman Facebook yang mengumumkan bahwa acara akan dimulai pada tengah hari di daerah Daumesnil di timur Paris.

Di samping tajuk laten gerakan gilets jaunes yang antipemerintah, demo ke-12 pada Sabtu 2 Februari juga ditujukan untuk mendapatkan keadilan bagi yang terluka selama aksi protes sebelumnya, memberikan penghormatan kepada para korban (dari dugaan kekerasan polisi), dan untuk mengkampanyekan protes terhadap penggunaan polisi dengan peluru karet berkecepatan tinggi dan granat kejut.

Polisi Prancis mengklaim berulang kali bahwa penggunaan dua opsi alat pengendali huru-hara itu ditujukan untuk memulihkan ketertiban selama protes rompi kuning, yang berulang kali selalu berakhir dengan kerusuhan.

Satu kelompok hak asasi manusia dan satu serikat pekerja utama pergi ke pengadilan administratif Prancis pekan ini untuk mencari larangan polisi anti huru hara menggunakan peluru karet, tetapi pengadilan pada hari Jumat menolak tuntutan mereka.

Angka-angka yang muncul untuk protes rompi kuning mingguan telah menurun dalam beberapa pekan terakhir setelah Presiden Emmanuel Macron mengumumkan serangkaian tindakan untuk membantu pensiunan dan pekerja miskin, dan meluncurkan dua bulan debat di seluruh negeri untuk memungkinkan orang menyarankan reformasi apa yang mereka sukai.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Undang-Undang Baru untuk Mengantisipasi Anarki Protes Rompi Kuning

Massa gerakan rompi kuning di Paris Prancis pada 12 Januari 2019 waktu lokal (AFP)

Dalam bentuk antisipasi dan upaya meredam potensi anarki, Parlemen Prancis juga telah menyetujui undang-undang yang melarang pemakaian topeng saat protes, dan yang lain melarang orang tertentu untuk ikut serta dalam demonstrasi.

Mengenakan topeng saat demonstrasi akan berpotensi dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan denda 15.000 euro (berkisar Rp 230 juta) dengan potensi banding untuk peringanan hukuman, menurut undang-undang baru, demikian seperti dilansir BBC31 Januari 2019.

Selain pelarangan mengenakan topeng atau penutup wajah lainnya, parlemen juga mengadopsi undang-undang untuk melarang orang yang 'memiliki catatan khusus' terlibat dalam demonstrasi. Namun, kebijakan itu menuai pro dan kontra.

Kelompok pendukung berargumen bahwa undang-undang itu spesifik menargetkan individu yang memiliki catatan kriminal kasus kekerasan, perusakan properti atau penjarahan. Sehingga, penerapannya ditujukan untuk mengantisipasi potensi ancaman serius terhadap ketertiban umum yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.

Mengabaikan larangan seperti itu dapat mengakibatkan hukuman penjara enam bulan dan denda 7.500 euro (berkisar Rp 119 juta), dengan potensi banding untuk peringanan hukuman.

Bagian lain dari pendukung undang-undang ini berharap agar para pembuat onar bertanggung jawab secara finansial atas kerusakan properti yang disebabkannya dalam demonstrasi.

Tapi, kelompok kontra, termasuk anggota parlemen Prancis menyatakan keprihatinannya bahwa undang-undang tersebut dapat berdampak pada pengekangan hak-hak pribadi seseorang, khususnya dalam 'berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat'.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya