Datuk Tabano, Panglima Perang Tuanku Imam Bonjol yang Buat Belanda Merugi 2 Tahun

Rumah Datuk Tabano yang merupakan panglima perang Tuanku Imam Bonjol banjir darah saat dikepung tentara Belanda. Ia pun tergelincir karenanya.

oleh M Syukur diperbarui 17 Agu 2018, 01:02 WIB
Rumah Datuk Tabano banjir darah saat dikepung tentara Belanda. Ia pun tergelincir karenanya. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Hampir dua tahun Belanda dibuat merugi karena Sungai Siak berhasil dikuasainya secara bergerilya. Kapal-kapal niaga negara orange itu dibakar sehingga dagangan berupa rempah-rempah serta komoditas lainnya tidak sampai ke Singapura.

Dia adalah Datuk Tabano dari Desa Muara Usai, Kabupaten Kampar, Riau. Pernah menjadi salah satu panglima perang Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda di Sumatera Barat. Tertangkapnya Imam Bonjol membuat Datuk Tabano melanjutkan perjuangan ke Muara Uwai.

Perjuangannya di Kampar dimulai pada 1894. Sungai Kampar dijadikannya sebagai basis perjuangan bekerja sama dengan para datuk atau ninik mamak suku di sana. Sungai itu juga terhubung ke Sungai Siak yang saat itu menjadi arus penting perdagangan karena berhilir ke Malaka.

Belanda sangat menguasai Sungai Siak. Apalagi setelah adanya perjanjian damai dengan Kerajaan Siak pada 1841, kapal Belanda dengan mudah mengangkut hasil kebun dari Sumbar menuju Singapura.

Di beberapa titik sungai dibangun pos tentara sebagai pengaman pelayaran kapal. Dan Datuk mengetahui kelemahan Belanda karena belum menguasai desa-desa di sekitar sungai. Dari sinilah gerilya dimulai.

"Datuk Tabano punya dua orang kepercayaan, yaitu Usman dan Saleh, untuk mengintai kapal-kapal perdagangan Belanda di Sungai Siak," kata sejarawan Riau, Prof Suwardi MS di Pekanbaru, Rabu, 15 Agustus 2018.

Saleh dan Usman menyamar menjadi nelayan. Keduanya juga menyusup ke pelabuhan sembari membawa hasil tangkapan ikan untuk memetakan tujuan serta daerah yang dilalui kapan dagang Belanda.

Dari informasi keduanya ini, Datuk Tabano sering berhasil menyabotase hingga mengaramkan kapan dagang dimaksud. Akibatnya, keuntungan perdagangan Belanda menurun drastis.

"Karena sudah dua tahun merugi, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta) mengirim satu batalion tentara ke Kampar. Tujuannya menangkap hidup-hidup Datuk Tabano," skata Suwardi.

Kabar dikirimnya tentara diketahui Datuk Tabano setelah diinformasikan Saleh dan Usman. Datuk yang juga disebut kebal peluru senjata api ini tak gentar dan menyatakan akan menunggu tentara Belanda di Kampar.

"Biarpun 10 ribu pasukan Belanda yang datang, saya tidak akan lari. Biarlah saya tumbang di tanah Kampar ini," cerita Suwardi menirukan perkataan Datuk Tabano ke Saleh yang memintanya melarikan diri.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

2 dari 2 halaman

Banjir Darah di Rumah

Ilustrasi perjuangan

Waktu berjalan. Tentara Belanda sampai di Pekanbaru untuk menuju Kampar. Kala itu, Datuk Tabano baru dari hutan bersama pengikutnya serta anak dan istrinya. Sebelum masuk ke rumahnya di Desa Muara Uwai, Saleh mendapat pesan supaya nanti kalau Belanda datang agar membawa keluarganya itu lari.

Waktu salat Ashar masuk pada 905 itu. Usai salat berjemaah dan melaksanakan wirid petang, terdengar teriakan sebagai tanda Belanda datang. Dengan sigap, Datuk Tabano mengambil lembing dan menggenggam pisau dari sajadahnya.

"Istri langsung dibawa lari oleh beberapa orang kepercayaan Datuk Tabano. Saleh dan Usman tetap tinggal karena ingin berjuang dengan Datuk Tabano. Keduanya ingin mati syahid," terang Suwardi.

Perang akhirnya terjadi di halaman rumah Datuk Tabano. Ratusan tentara mengepungnya dan puluhan di antaranya tewas. Saleh dan Usman akhirnya gugur setelah membunuh beberapa tentara Belanda.

Sadar kalah jumlah, Datuk Tabano mundur perlahan untuk masuk ke rumahnya. Dia punya siasat jika di tempat sempit, maka akan lebih banyak tentara yang ditaklukkannya. Tak ayal di dalam rumah terjadi banjir darah.

Hal ini membuat Datuk Tabano terpeleset karena lantai licin akibat banjir darah. Dia pun berhasil ditangkap setelah dihujam bayonet tentara Belanda.

"Belanda tak langsung membunuhnya. Karena tahu kebal peluru, makanya dicambuk pakai pelepah pisang, itu kelemahan dari kebal peluru," terang Suwardi.

Hampir sepekan Datuk Tabano diikat di depan rumahnya. Tanpa diberi makan dan minum, Datuk Tabano selalu disiksa. Belanda tak langsung membunuh karena ingin membuat rakyat ketakutan.

"Belanda seolah ingin memberi pelajaran, beginilah nasib melawan mereka," ucap Suwardi.

Akhirnya setelah hujan turun, Datuk Tabano gugur. Tak diketahui persis hari dan bulannya peristiwa pada 1905 ini. Makam Datuk Tabano masih bisa ditemui di desa tersebut yang terletak di pinggir jalan dan sebuah masjid tua.

Makamnya hingga kini masih terus dikunjungi oleh masyarakat setempat. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu jalan di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya