57 Negara OKI Akui Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina

Para pemimpin OKI menyerukan agar seluruh negara ikut mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 14 Des 2017, 10:10 WIB
Para kepala negara anggota OKI saat berkumpul di Istanbul, Turki, pada 13 Desember 2017 untuk membahas isu Yerusalem (AP Photo/Lefteris Pitarakis)

Liputan6.com, Istanbul - Hasil KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang diselenggarakan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 13 Desember 2017 mendeklarasikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. OKI menolak pengakuan sepihak Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Dalam KTT Luar Biasa yang digelar sepekan setelah pidato pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, para pemimpin OKI menyerukan seluruh negara untuk mengakui Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya yang tengah diduduki.

Seperti dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (14/12/2017), OKI menambahkan bahwa 57 negara anggotanya tetap berkomitmen atas "perdamaian yang adil dan komprehensif berdasarkan solusi dua negara". OKI mendesak PBB untuk "mengakhiri pendudukan Israel" atas Palestina dan menyatakan bahwa pemerintahan Trump bertanggung jawab untuk "semua konsekuensi bila keputusan ilegalnya tidak dicabut".

"Bagi kami deklarasi (Trump) berbahaya, yang bertujuan untuk mengubah status hukum kota (Yerusalem), tidak sah dan tidak memiliki legitimasi," ujar OKI dalam pernyataan bersamanya.

Marwan Bishara, analis politik senior Al Jazeera mengatakan bahwa KTT Luar Biasa OKI di Istanbul menyoroti bahwa rakyat Palestina, warga Arab, dan muslim terus berkomitmen pada perdamaian.

"Sekarang, negara-negara muslim dengan bersekutu bersama Palestina mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina," terang Bishara.

"Dan negara-negara Islam tersebut siap untuk menghukum setiap negara yang mengikuti jejak Amerika Serikat dalam hal mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," ucapnya.

2 dari 2 halaman

Muslim Didesak Bersatu

Seorang pria Palestina berjalan melewati toko-toko yang tutup di kota Nablus, Tepi Barat, (7/12). Usai Presiden AS, Donald Trump mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel suasana sepi terlihat di kawasan tersebut. (AFP Photo/Jaafar Ashtiyeh)

Sekretaris Jenderal OKI Yousef al-Othaimeen dalam KTT di Istanbul menyatakan menolak keputusan Amerika Serikat dan mendesak para pemimpin muslim untuk bersatu dalam memberikan respons terhadap pengakuan Yerusalem oleh Trump.

"OKI menolak dan mengutuk keputusan Amerika Serikat. Itu adalah pelanggaran hukum internasional dan ini memprovokasi perasaan umat muslim sedunia. Ini akan menciptakan ketidakstabilan di kawasan dan di dunia," terang Sekjen OKI itu.

Sementara itu, dalam forum KTT Luar Biasa OKI, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menuturkan bahwa AS "mendiskualifikasi" dirinya dari perundingan damai Israel-Palestina. Langkah tersebut menunjukkan biasnya sikap Negeri Paman Sam.

Trump mengumumkan pengakuan atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada Rabu 6 Desember 2017. Dalam kesempatan yang sama, ia memastikan akan segera memulai proses pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Kami tidak akan menerima peran apa pun yang kelak dimainkan Amerika Serikat dalam proses perdamaian, mereka telah membuktikan sikap bias terhadap Israel," kata Abbas.

"Yerusalem akan selalu menjadi ibu kota Palestina," imbuhnya.

KTT Luar Biasa OKI di Istanbul dihadiri oleh lebih dari 20 kepala negara. Arab Saudi, yang merupakan markas OKI, hanya mengirim seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri, sementara mayoritas mengutus Menteri Luar Negeri mereka.

Pertemuan OKI tersebut digelar atas desakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

"Itu tidak sah dan tidak berlaku... kecuali Israel, tidak satu pun negara-negara di dunia mendukung keputusan (Trump) itu," ujar Erdogan merespons kebijakan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Analis, bagaimana pun, ragu Turki dapat menjembatani kesenjangan dalam dunia politik muslim yang terbagi atas syiah dan sunni. Sejumlah pemain kunci seperti Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dinilai tidak akan mengambil risiko dengan garang mengumandangkan sikap anti-Washington.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya