BPK: RI Berpotensi Rugi Rp 6 Triliun Gara-Gara Freeport

BPK menemukan masalah yang perlu mendapat perhatian atas kontrak karya PT Freeport Indonesia pada 2013-2015.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Okt 2017, 12:00 WIB
Perubahan Status Kontrak Freeport Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusun Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Dalam IHPS tersebut memuat 687 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I 2017.

687 laporan itu terdiri atas 645 LHP Keuangan (94 persen), 9 LHP Kinerja (1 persen) dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT) sebesar 5 persen.

Salah satu dari 33 LHP dengan tujuan tertentu yang signifikan, seperti dikutip dari IHPS I 2017, Selasa (3/10/2017) yaitu pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Mengutip laman tersebut, pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) ini terjadi pada 2013-2015. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai kepatusan PTFI dalam hal penerimaan negara dan kepatuhan terhadap peraturan terkait dengan lingkungan hidup, serta menguji apakah perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

BPK menemukan beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan oleh PTFI menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif berlaku saat ini.

Hal itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per dolar Amerika Serikat).

Sebelumnya pemerintah sudah menetapkan besaran royalti, emas, perak dan tembaga tetap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. Peraturan Pemerintah itu merupakan revisi dari PP sebelumnya yakni PP Nomor 45 Tahun 2003.

Kedua, hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PT FI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI. Ini karena sampai 2015, kepemilikan pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.

Ketiga, pengelolaan limbah tailing PT Freeport Indonesia belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan.

Atas hal ini, pemerintah telah mencapai kesepakatan final dengan PTFI antara lain mengenai divestasi saham PTFI sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Selain itu stabilitas penerimaan negara dibanding penerimaan melalui kontrak karya selama ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya