Sukses

Ini Penyebab Maraknya Hoaks di Ranah Digital

Saat pandemi Covid-19, di mana semua orang hanya berdiam diri di rumah, tercatat sudah ada 7.000 berita hoaks terkait pandemi yang ditemukan Kemkominfo.

Liputan6.com, Jakarta - Banyaknya informasi yang terus berdatangan di platform digital, mulai dari media sosial hingga aplikasi pesan singkat, membuat masyarakat sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana kabar yang palsu atau hoaks.

Oleh karena itu, wajib untuk menyaring setiap informasi agar tidak terlibat dalam penyebaran kabar bohong yang berpotensi melanggar hukum.

Di acara webinar bertema “Bijak dalam Menerima Informasi! Saring Sebelum Membagikan” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, dibahas mengenai cara sehat berinternet.

Konten Kreator comhub.id dan Dosen UPRI Makassar, Andi Asy’hary J. Arsyad, memaparkan sejumlah informasi yang perlu disaring.

Ia menuturkan penyebab maraknya konten negatif, salah satunya infodemik dan disinfodemik, di mana merupakan kelebihan jumlah informasi yang beredar dan diantaranya ada yang akurat dan ada yang tidak.

"Infodemik tersebut menyulitkan orang untuk mendapatkan sumber yang akurat, kredibel, dan dapat diandalkan sebagai pedoman," kata Andi, dikutip Minggu (24/7/2022).

Ia menyontohkan, saat pandemi Covid-19, di mana semua orang hanya berdiam diri di rumah, tercatat sudah ada 7.000 berita hoaks terkait pandemi yang ditemukan Kemkominfo.

"Kelimpahan informasi ini di antara tahun 2020 hingga 2021 membuat kita bingung, mana yang hoaks mana yang tidak. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya disinfodemik,” ucapnya menambahkan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Etika Digital

Terkait etika digital, Dosen Universitas Fajar Mariesa Giswandhani menjabarkan hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum berinternet sehat, di antaranya seperti keamanan dan sekuritas data daring, proteksi data pribadi, serta keamanan individu.

Menurutnya, banyak orang yang langsung mengklik centang pada halaman persetujuan privasi saat membuat suatu akun surel, padahal seharusnya kita perlu membacanya terlebih dahulu agar mengetahui informasi mengenai keamanan privasi data diri kita.

“Internet sehat dimulai dengan SDM sehat. Tujuan sosialisasi penggunaan internet sehat dan aman adalah proses edukasi dengan memberikan pemahaman yang cukup mengenai penggunaan internet secara bijak, sehingga memaksimalkan dampak positif internet dan meminimalkan dampak negatif dari berinternet sehingga tercipta masyarakat cerdas dan produktif,” ujar Mariesa.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

48,6 Persen Anak Kecanduan Media Sosial

Sementara Indahkus selaku KOL sekaligus dokter memberikan sebuah fakta berdasarkan penelitian tahun 2020 yang menyatakan bahwasannya sebanyak 48,6 persen anak mengalami kecanduan media sosial dan hal tersebut menyebabkan dampak psikologis dan tekanan mental.

Tidak hanya itu Indah juga menyebutkan pentingnya kematangan kepribadian sebelum menggunakan media sosial dan hal tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perkembangan psikososialnya.

“Penggunaan media sosial yang tinggi berisiko untuk meningkatkan kesehatan mental yang tidak baik atau sampai buruk," kata Indah.

Ia menilai dampak media sosial yaitu remaja mempunyai karakteristik yang berbeda karena memiliki pengalaman, motif, sikap, dan tipe kepribadian yang relatif berbeda dalam menggunakan media sosial.

 

4 dari 4 halaman

Infografis Cek Fakta: Kumpulan Hoaks Seputar Covid 19 terbaru yang beredar di WhatsApp (Liputan6.com/Abdillah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.